Selasa, 11 Agustus 2009

Berwisata ke Cirebon Kota Udang

Bagi yang sedang bingung ingin kemana. hmm.... Kota Cirebon yang terletak di jalur utara pulau jawa bisa kok jadi pilihan yang menarik.

Ketika memasuki kota udang ini sudah dapat ditemui sebuah sungai dengan nama yang cukup menarik yaitu sungai sukalila. sungai ini memiliki arti sukarela yang konon ada orang Arab (Syeh Magelung Sakti*) yang rambutnya tak bisa dipotong dan dateng ke jawa untuk mencari orang sakti yang dapat memotong rambutnya. Nah pada saat itu Kanjeng Sunan Gunung Jati yang sedang menyamar menjadi rakyat biasa memberikan bantuan secara sukarela dan dengan kesaktiannya dia bisa memotong rambutnya.




Kunjungan pertama dalam wisata kali ini adalah Mesjid Agung Sang Cipta Rasa. Mesjid ini dibangun oleh walisongo pada tahun 1498 atas prakasa Kanjeng Ssunan Gunung Jati. Nama mesjid ini diberikan karena merupakan pengewantahan dari rasa dan kepercayaan. Masuk dalam mesjid ini ternyata ada beberapa hal yang unik dan perlu diketahui dari mesjid ini.
Satu, ada sumur yang tak pernah kering meskipun di tengah kemarau dimana zaman dahulu ketika sungai yang lainnya kering, warga datang ke tempat ini untuk mengambil airnya.
Dua, ada penanda waktu untuk melakukan azan alias menggunakan jam matahari. Ane pikir jam matahari hanya ada di eropa.
Tiga, pas adzan yang membacakan doanya 7 orang sekaligus dan masih dilakukan setiap jumatan untuk melestarikan tradisi.
Konon tiap kali membacakan doa (1 orang) beberapa hari berikutnya orang tersebut meninggal jadi dilakukan bersama-sama.

Empat, anda bisa melihat beberapa ukiran-ukiran yang mana salah satunya adalah motif bendera Tjirebon.






Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Keraton Kesepuhan. Jarak keraton ini dengan Mesjid Agung Sang Cipta rasa kira-kira 50 meter. Disini, akhirnya dapat diketahui bahwa tata kota telah ada sejak dahulu. Ketika kita berada di pintu masuk ke Keratonan, Kita akan melihat bahwa di sebelah kanan terdapat pasar (untuk pemenuhan kebutuhan hidup), di tengah terdapat alun-alun (kehidupan sosial), dan di sebelah kiri adalah mesjid (kebutuhan rohani) dan keraton sebagai pusat pemerintahan. Keraton yang didirikan pada tahun 1452 menyimpan pedati terbesar se-Indonesia. Keraton ini dulunya bernama Keraton Pangkuwati. Namanya berubah sejak didirikan keraton Kanoman. Di dalam keraton ini ada obyek pemotretan yaitu dua ekor macan di atas batu yang merupakan simbol dari keterkaitan Tjirebon dan Padjajaran. Masuk ke dalam keraton ini bisa ditemui bangku dan kursi made in cirebon dengan design made prancis. Untuk yang ingin mengetahui isi Alkitab dan males bacanya bisa dilihat di tembok-temboknya ada gambar-gambar yang menggambarkan isi alkitab tersebut. Akan tetapi pemasangannya tidak beraturan. Oyah tak lupa ada juga gambar buah manggis dan buah delima. Yuk kita telusuri lagi ke bagian dalam keraton ini ternyata banyak pendopo-pendopo. Disini ada bagian yang mana wanita tidak diperbolehkan masuk ( hehehe berbahagialah para pria). Konon Sunan Gunung Jati ketika udah beristri masih ada yang melamar lohhhh.... ceweknya katanya sih dari negeri Tiongkok dan High Qualified alias udah cantik, gadis, pinter, kaya, anak raja dan sukarela pula. Kurang apa lagi jadi yang berminat banyak yang naksir ke kolam pancing ajah yah ( hehehehe nda jelas). Ok sekarang kita PINTONG alias (pindah tongkrongan)...

Tongkrongan selanjutnya adalah Keraton Kanoman. Di sini ada kereta yaitu kereta paksi naga liman ( Kendaraan Sultan) dan Kereta Jempana ( Untuk Permaisuri). Pada hari jadi Tjirebon di tempat ini biasanya ada upacara pembacaan Babat Cirebon. Btw ngomong-ngomong tentang kereta, di keraton kesepuhan juga ada kereta singa barong. Kereta ini merupakan gabungan dari tiga hewan dan tiga kebudayaan. Hewan-hewannya adalah naga, gajah dan garuda. Naga (budaya Tiongkok) melambangkan kelincahan, kecerdikan dan kekreatifitas. Gajah (budaya india dan arab) melambangkan kekuatan dan garuda (buda india dan arab juga) melambangkan kecepatan dan kekuatan. Oyah sebelum lupa di belalai gajahnya terdapat senjata trisula yang menyimbolkan tiga ketajaman yaitu cipta, rasa dan karsa.

Keraton KeCirebonan yang merupakan perjalanan selanjutnya disebut juga keraton para pemberontak dan para seniman. Jadi konon pada zamannya kompeni dateng ke cirebon si penguasa Cirebon Sultan Sepuh 1 tidak suka sama kompeni jadi banyak sekali pemberontakan-pemberontakan (zaman ini belon ada keraton kecirebonan). Jadi inilah cerita dibalik berdirinya keraton kecirebonan, Sultan Sepuh 1 punya istri tapi tak punya anak, selirnya punya anak cowo dan ganteng pula (dipati Anom). Jadi siapa raja selanjutnya dapat diketahui khan. Setelah sekian lama istri dengan doanya akhirnya melahirkan anak cowo (pangeran Aria Cirebon). Ribettttt deh..... Yah sok pokoknya pada akhirnya Aanak pangeran Aria Cirebon menagih bla2x,... sehingga didirikannya keraton kecirebonan. Untuk tahu pastinya baca sendiri sejarahnya yah. Ada dua hal yang perlu diketahui yaitu keraton ini berfungsi sebagai tempat tinggal dan masih berfungsi hingga saat ini. Kedua karena anak dari selir telah dijadikan sultan dan tidak diperbolehkannya ada dua sultan maka nama sultan untuk anak dari permaisuri bisa dianggap ada dan bisa dianggap tidak, makanya jadi pangeran. Balik lagi keraton ini disebut sebagai keraton seniman karena banyak seniman yang berguru di keraton ini dan ada sanggar gamelan dan budaya lainnya. Dahulu kesenian Tjirebon pernah go internasional akan tetapi saat ini tenggelam kembali dan dahulu pula ada orang bule yang dapet gelar master musik gamelan dan belajarnya di keraton kecirebonan ini (sebagai informasi ajah).





Hari kedua pejalanan pertama menuju ke Tamansari Gua Sunyaragi. Sunyaragi berasal dari kata sunya yang berarti sepi dan ragi yang berarti jasmani. Jadi gua yang didirikan pada abad 15 ini bisa diketahui fungsinya yaitu tempat untuk istirahat dan meditasi para sultan dan pada tempat ini pula digunakan untuk latihan perang. Tempat ini adalah tempat favorit gue untuk foto-foto karena tempatnya bagus. Perjalanan dilanjutkan ke Kelenteng Dewi Welas Asih Tio Kak Sie. Ternyata di Tjirebon ada klenteng atau vihara juga. Di kelenteng ini banyak sekali yang menarik. Pertama banyak dewa-dewanya dimulai dari dewi Quan Im, dewa laut, dewa bumi, dewa walikota, dewa dagang dan masih banyak lagi. Kedua di tembok-temboknya ada gambar yang menceritakan tentang tiga kerajaan kata yang ngurus kelentengnya. Ketiga ada sebuah jangkar yang dianggap salah satu jangkar milik Ceng Ho. Guede banget sekitar 3,5 meter tingginya. Ini adalah akhir dari perjalanan ke tempat sejarahnya.

Minggu, 02 Agustus 2009

Malam 1 Suro di Cirebon

Jangan mengaku penggemar setia film nasional kalau tak pernah menonton atau mendengar Malam Satu Suro-nya bintang seksi Suzanna. Kisah dalam film bioskop beberapa tahun lalu itu mungkin jauh dari gambaran sebuah malam keramat. Tapi setidaknya menunjukkan 1 Suro bermakna khusus. Banyak yang percaya, momen itu berhubungan dengan hal gaib dan pengalaman luar biasa.



Coba simak ritus di pusat-pusat kebudayaan Jawa masa silam. Lebih khusus lagi, keraton-keraton yang dulu pernah berperan sebagai pusat kekuasaan. Di Kasunanan Surakarta contohnya, paling terkenal adalah acara kirab pusaka kerajaan berkeliling kota menjelang tengah malam 1 Muharram. Konon, ritus itu sudah dilakukan sejak Keraton Surakarta berdiri tahun 1745.



Ribuan orang suka rela membanjiri Kota Solo, guna menyaksikan agenda tahunan ini. Uniknya, barisan kirab justru didahului sembilan ekor kerbau bule, yang semuanya bernama Kiai Slamet. Kesembilan kerbau bule dan keturunannya itu bukan kerbau sembarangan, karena mereka kesayangan Sunan. Percaya atau tidak, mereka punya hobi berkelana. Namun, menjelang 1 Suro, seperti sudah menghayati peran sejarahnya, mereka berkumpul kembali di alun-alun selatan Surakarta.



Suasana tak kalah sakral amat terasa di Keraton Yogyakarta. Menjelang tengah malam, bisa disaksikan ribuan orang melakukan upacara mubeng beteng, mengelilingi benteng keraton tanpa berucap kata sepatah pun. Sedangkan di alun-alun selatan, ratusan orang melakukan masangin, dengan mata tertutup berjalan di antara dua pohon beringin (kembar) yang ada di tengah alun-alun. Upacara paling sakral, melakukan jamasan (pembersihan) seluruh pusaka keraton, dilakukan 26 Suro.



Masa peralihan menuju penanggalan baru Jawa (1 Suro) atau tahun baru Islam (1 Muharram) memang kerap dianggap mendatangkan berkah. Bahkan berkembang kepercayaan, berdoa dan tirakat di tempat-tempat bersejarah dan keramat bisa membuat keinginan terkabul. Sebuah fenomena (oleh Sumanto Al Qurtuby, peneliti Lembaga Studi Agama dan Pembangunan, Semarang, disebut sebagai agama humanistik) yang mensahkan seseorang tampil modern dan logis di suatu waktu, namun sangat tradisional dan mistis di kurun waktu yang lain.



Berlainan akar


Gejala serupa bisa ditemui dalam peringatan 1 Suro atau 1 Muharram (tahun ini jatuh pada tanggal 26 Maret) di Cirebon, bekas pusat Kerajaan Islam besar di perbatasan Jawa Barat - Jawa Tengah. Bedanya, ritus yang melibatkan dua keraton utamanya, Kesepuhan (dari kata sepuh, maknanya lebih tua) dan Kanoman (dari kata anom, lebih muda) tak sebanyak di Solo dan Yogyakarta. "Tapi bukan berarti nilai sakralnya berkurang. Kesakralan itu tergantung bagaimana hati kita memandang," ucap Ratu Mawar, putri Sultan Haji Muhammad Djalaludin alias Sultan Kanoman XI, penguasa teranyar keraton Kanoman.



Melihat jumlah acara, inisiatif meramaikan 1 Suro justru lebih banyak datang dari Pemda Kotamadya Cirebon. Seperti "Helaran (pergelaran - Red.) Budaya" yang digelar di depan balai kota, dua hari menjelang 1 Muharram. "Helaran" menyajikan pertunjukan sendratari kolosal "Babad Cirebon" yang berlangsung satu jam. Drama gerak yang dibawakan puluhan penari itu diakhiri dengan penancapan "Pohon Witana", pondokan cikal bakal Cirebon. Selanjutnya, dilakukan pawai prajurit Keraton Kesepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan.



Pemda pun mengadakan lomba gerak jalan, pertandingan olahraga antarinstansi. Bahkan dua hari setelah acara "Helaran", walikota Cirebon mengadakan Rapat Paripurna Istimewa dalam rangka HUT Cirebon.



Seorang wisatawan asal Belanda yang menghadiri rangkaian acara itu sempat bertanya-tanya. "Apakah peringatan 1 Suro di Cirebon sudah berubah jadi kegiatan formal?" Sebuah pertanyaan yang sulit terjawab jika wisatawan itu hanya singgah satu-dua malam di kota pantai utara Jawa itu.



Tak kurang Sultan Anom, sebutan bagi penguasa Keraton Kanoman mengakui kebenaran pandangan sang wisman. "Tak apa toh, tradisi kita berbeda dengan Keraton Solo dan Yogya. Masing-masing memiliki latar belakang sejarah berlainan," ujarnya di Bangsal Dalem Kanoman.



Ya, akar sejarah inilah kunci yang membedakan 1 Suro di Kota Udang. Bagi warga Cirebon, maknanya bukan sekadar malam penuh berkat dan keramat, tapi juga hari jadi. Tahun ini, Cirebon genap berusia 631 tahun.



"Mungkin, para pendirinya sengaja membangun Cirebon pas 1 Muharram, supaya bagus," tutur Sultan. Ini sekaligus menjawab, mengapa Pemda Cirebon merasa sangat berkepentingan memarakkan peringatan 1 Suro.



Karena aboge, terlambat sehari


Satu lagi perbedaan Cirebon dengan dua keraton lainnya adalah penetapan awal tahun Jawa. "Satu Suro di sini, mungkin dua Suro di sana. Anggap saja kita telat sehari," tambah Ratu Mawar. Perbedaan ini karena metode menghitung di Cirebon memang lain. "Istilahnya aboge," jelas wanita lajang usia 26 tahun itu.



Keraton sendiri, meski tak banyak, tetap menggelar sejumlah acara ritual. Di Kanoman misalnya, satu hari menjelang 1 Muharram, diadakan khitanan massal bagi anak-anak warga masyarakat sekitar. "Mereka kami bekali dengan baju kampret (serupa baju koko), peci, sarung, sandal, makanan, dan uang Rp 50 ribu," tutur Pangeran Raja H. Muhamad Imamuddin, adik laki-laki tertua Sultan, yang kerap mewakili kakaknya di berbagai acara sosial.



Sebelumnya, mereka berkunjung ke makam Sunan Gunung Jati, membaca salawat dan tahlil. Sedangkan puncak peringatan, pembacaan "Babad Cirebon", dilaksanakan persis di malam 1 Suro. Babad yang menceritakan awal berdirinya Kerajaan Cirebon ini dibacakan langsung Pangeran Muhammad Amaludin, putra Sultan.



Dulu, acara ritual itu diadakan di bangunan Witana, di belakang Keraton Kanoman. Tapi, karena bangunan itu sudah terlalu tua dan khawatir rusak, acara dialihkan ke pendopo utama. Selama membaca naskah, Amal - begitu Amaludin dipanggil - didampingi tujuh abdi. Tiga orang masing-masing membawa baki berisi naskah babad, tempat kemenyan, meja kecil, sedangkan yang empat orang membawa lilin. Tak ketinggalan, didampingi pula enam ulama sepuh.



Usai pembacaan babad, acara dilanjutkan dengan persembahan nasi tumpeng kepada khalayak yang hadir. Di sini tampak betapa daya tarik magis keraton masih berkibar buat kalangan tertentu. Bak "singa lapar", ratusan pengunjung berebut tumpeng yang jumlahnya belasan.



"Bukan makanannya, tapi berkahnya yang saya cari," aku seorang pemilik toko di Pasar Kanoman. Ia percaya, banyak sedikitnya makanan yang bisa disantap berpengaruh terhadap rezeki yang bakal diterima.



Cuci jimat tradisional


Di Keraton Kesepuhan, acara paling menonjol dalam menyambut 1 Suro hanya pencucian benda-benda pusaka yang tersimpan di museum keraton. Itu pun tidak dilakukan persis pada malam peralihan tahun. "Tapi secara bertahap, antara 1 hingga 10 Suro," tegas "Lurah Dalem" Kesepuhan Mohamad Maskun, pemimpin upacara pencucian. Lurah Dalem merupakan jabatan di lingkungan keraton yang bertugas mengurusi masalah internal keraton.



Persoalan ke luar, seperti hubungan dengan penduduk sekitar, ditangani oleh Lurah Magersari. Nah, kedua lurah (penjabatnya tak mesti keluarga Sultan) itu punya seorang atasan langsung, disebut Lurah Kepala.



Adakah upacara khusus sebelum pencucian? "Ada pembacaan doa. Tapi, acara itu tidak melibatkan Sultan, karena pusaka utama, seperti Kereta Singa Barong dan Piring Panjang Jimat tidak masuk daftar," tandas Maskun.



Meski tak melibatkan jimat Sultan Sepuh (sebutan penguasa Keraton Kesepuhan), tetap ada syarat yang tak bisa ditinggalkan. Seperti larangan menggunakan zat kimia untuk melunturkan karat. Sekuat apa pun karatnya, tetap harus dibersihkan dengan ramuan tradisional, semisal campuran jeruk nipis dan air kelapa. Awalnya, benda-benda pusaka itu direndam dalam bak besar. Lama perendaman antara 2 hari - 1 minggu. "Tergantung banyak-sedikitnya karat dan kotoran yang menempel," ujar Maskun.



Selesai direndam, sang pusaka dimandikan dengan air kembang tujuh rupa. Tak ada patokan harus memakai bunga tertentu. "Yang penting jumlahnya tujuh macam dan, tentu saja, masih segar," tambah Maskun. Tapi, bunga-bunga pembawa wangi klasik, seperti mawar dan melati lazim dipakai. Pusaka-pusaka kecil, seperti keris, pisau, atau tombak biasanya selesai paling awal. Sementara benda seperti tameng (perisai) perang, gamelan, dan sejenisnya jelas tak bisa diselesaikan dalam satu-dua hari. Itu sebabnya, total waktu pencucian bisa mencapai 10 hari.



Memasuki tahun baru, ternyata tak hanya manusia yang merasa perlu "bersih diri", benda pusaka pun perlu tampilan baru. (Muhammad Sulhi)

Muludan






Muludan artinya merayakan mulud yang berasal dari bahasa arab Maulid yang artinya kelahiran. Bulan ini adalah kelahiran Kanjeng Rasulullah Muhammad saw pada tanggal 12 Robi'ul Awal. Bulan Mulud adalah bulan ke tiga dalam perhitungan kalender Islam Jawa. Di bulan ini biasanya ramai terutama di pusat pemerintahan dijaman Kasultanan Cirebon.

Sperti di kraton-kraton lainnya di tanah Jawa, di Cirebon juga diadakan acara yang dinamakan Grebeg Mulud yang lebih dikenal dengan sebutan "Panjang Djimat". Acara ini diadakan oleh tiga Keraton, yaitu Kasepuhan , Kanoman, Kacirebonan pada tepat tgl 12 Mulud. Acara ini cukup cukup menarik perhatian masyarakat terutama masyarakat di sekitar kota Cirebon.

Suasana acara Panjang Djimat seolah-olah melambangkan kehamilan dan kelahiran yang di ekspresikan dengan simbol-simbol. Kelahiran dari Rasulullah Muhammas saw. Prosesi Panjang Djimat diawali dari Keraton yang nantinya diiringi iring-ringan yang membawa Panjang Djimat dan beberapa pusaka dari Bangsal Agung Panembahan ke Langgar Agung pada tepat pukul Sembilan malam dan kemabli pukul sebelas ke Bangsal Agung Panembahan. Di Langgar Agung sebelum kembali ke Bangsal Agung diadakan acara Aysraqalan yang di pimpin oleh Penghulu Keraton. Sega Rasul (Panjang Rasul) kemudian akan di bagikan kepada yang hadir disitu dan biasanya orang-orang akan berebutan untuk mengambil bagian walaupun hanya sedikit, yang mereka yakin mengandung Barakah. Persiapan semua prosesi dimulai dari hari ke limabelas bulan Sura dengan membersihkan beberapa bagian Keraton dan pusaka-pusaka yang di lakukan oleh para abdi dalem (orang-orang yang mengabdi ke keratin tanpa di bayar).

Panjang Djimat sendiri berupa piring lodor besar buatan china yang berdekorasi Kalimat Syahadat bertulisakan huruf Arab yang diyakini dibawa langsung oleh Sunan Gunung Djati. Sebanarnya acara panajng djimat ini sendiri hanya mengingatkan kita bahwa Panjang Djimat berarti; Panjang berarti dawa (panjang) tak berujung, Djimat berarti Si (ji) kang diru (mat). Artinya tulisan Syahadat yang tertulis di piring tersebut supaya selalu kita pegang selamanya sebagai umat muslim hingga akhir hayat.

Iring-iringan itu sendiri pada dasarnya melambangkan moment kelahiran Nabi Muhammad saw. Dianataranya ada 19 bagian penting dalam iring-iringan tersebut. Satu bagian diikuti oleh bagian lainnya dan masing-masing bagian ada seorang yang membawa lilin-lilin. Pertama seorang pria yang membawa sebatang lilin di tangannya yang berperan sebagai pelayan (Khadam) berjalan memberikan cahaya ke bagian kedua diikuti dua orang pria. Salah seorang pria membawa sesuatu yang menggambarkan sosok Abu Thalib (paman Rasul) dan pria kedua menggambarkan Abdul Al0Muthalib (kakek Rasul). Mereka berjalan di malam hari untuk di berikan ke midwife. Selanjutnya ada salah satu grup pria yang membawa dekorasi yang di sebut Manggaran, Nagan dan Jantungan yang melambangkan kebaikan Abdul Al-Muthalib, Seorang wanita membawa Bokor Kuningan yang terisi dengan koin-koin didalamnya yang melambangkan sifat ibu Rasul, selanjutnya diikuti seorang wanita yang membawa nampan yang terdiri dari botol berisi Lenga Mawar (distilasi bunga mawar) yang melambangkan Air Ketuban. Sebuah nampan yangh terdiri dari kembaang Goyah, Obat tradisonal melambangkan Plasenta. Penghulu Keraton bertindak seolah-olah memotong ari-ari.

Selanjutnya inti dari Panjang Djimat tersbut terdiri dari dua belas acara yang melambangkan 12 Rabi'ul Awwal atau Mulud yang merupakan hari kelahiran Rasulullah yang misinya membawa Kalimat Syahadat. Masing-masing piring dibawa oelh dua orang yang di iringi dua orang pengawal, semua yang membawa piring-piring tersebut di biasa dipanggil Kaum Masjid Agung, Panjang Djimat adalah tujuh angka penting. Kalimah Syahadat membawa setiap orang untuk menuntun ke tujuh tingkatan atau di Cirebon dikenal dengan Martabat Pitu yang merupakan doktrin dari tarek Syattariyah. Kembali ke prosesi ada dua orang pria yang membawa sejenis termos yang berisi bir untuk mengumpulkan darah setelah melahirkan, diikuti dua orang pria yang masing-masing membawa nampan dengan botol yang berisi jenis bir yang lain yang melambangkan kotoran saat melahirkan. Sebuah pendil yang berisi Sega Wuduk (nasi uduk) di bawa oleh seorang pria yang melambangkan betapa susahnya saaat melahirkan. Selanjtnya diikuti dengan Nasi Tumpeng dengan bekakak ayam yang di sebut dengan Sega Jeneng yang melambangkan Syukuran (Selametan) lahirnya seorang bayi. Selametan pada saat di berikan nya nama untuk seorang bayi yang biasanya pada saat ari-ari sang bayi mongering dan lepas (Puput). Tiga bagian terakhir pertama adalah delapan Cepon (wadah yang terbuat dari bambu) yang melambangkan delapan sifat Rasul. Empat sifat pertama adalah Sidiq (Cerdas), Amanah (Dipercaya), Tabligh (Menyampaikan), Fathonah(pintar), kempat sifat ini disebut sifat Wajib yang dimiliki Rasul. Dan keempat lainnya adalah sifat yang tidak dimiliki oleh Rasul yaitu Kidzib, Khianat, Kitman dan Baladah. Masing-masing Cepon penuh dengan beras yang menandakan Kemakmuran dan Yang Maha Kuasa memberikan naungan keseluruh alam (Rahmatan lil-'Alamin). Selanjutnya diikuti empat buah Meron atau Tenong (wadah besar bebentuk bundar) menandakan manusia terdiri dari empat elemen, Tanah, Air, Udara dan Api. Ada sumber yang mengatakan bahwa keempatnya adalah empat sahabat kalifah Abu Bakr, Umar, Ustman dan Ali. Selanjutnya diakhiri dengan empat Dongdang (wadah besar) yang melambangkan spiritual manusia yang terdiri dari Ruh, Kalam, Nur dan Syuhud yang nenandakan Keagungan Tuhan. Ada juga yang mengatakan keempat-empatnya adalah melambangkan empat Madzhab: Maliki, Syafi'I, Hanafi dan Hanbali.


Beberapa daerah juga merayakan acara Muludan ini dengan prosesi yang berbeda, akan tetapi biasanya acara membersihkan pusaka yang disaksikan oleh khalayak ramai seperti di Astana Gunung Djati pada tanggal 11, di Desa Panguragan pada tanggal 12, di desa Tuk pada tanggal 17 dan desa Trusmi pada tanggal 25 di bulan Maulud ini.

Topeng Cirebon dan Kraton Cirebon










Menulis tentang keberadaan seni Tari Topeng Cirebon dengan kaitannya di dalam Keraton Cirebon, maka tidak bisa lepas dari perjalanan sejarah berdirinya Penguasa Islam di daerah pesisir ini.

Pada saat berkuasanya Sunan Gunung Jati sebagai Pimpinan Islam di Cirebon, maka datanglah percobaan untuk meruntuhkan kekuasaan Cirebon di Jawa Barat. Tokoh pelakunya adalah Pangeran Welang dari daerah Karawang. Tokoh ini ternyata sangat sakti dan memiliki pusaka sebuah pedang bernama Curug Sewu. Penguasa Cirebon beserta para pendukungnya tidak ada yang bisa menandingi kesaktian Pangeran Welang. dalam keadaan kritis maka diputuskan bahwa utnuk menghadapi musuh yang demikian saktinya harus dihadapi dengan diplomasi kesenian. Setelah disepakati bersama antara Sunan Gunung Jati, Pangeran Cakrabuana dan Sunan Kalijaga maka terbentuklah team kesenian dengan penari yang sangat cantik yaitu Nyi Mas Gandasari dengan syarat penarinya memakai kedok/topeng.

Mulailah team kesenian ini mengadakan pertunjukan ke setiap tempat seperti lazimnya sekarang disebut ngamen. dalam waktu singkat team kesenian ini menjadi terkenal sehinga Pangeran Walang pun penasaran dan tertarik untuk menontonnya. Setelah pangeran Walang menyaksikan sendiri kebolehan sang penari, seketika itu pula dia jatuh cinta, Nyi Mas Gandasari pun berpura - pura menyambut cintanya dan pada Saat Pangeran Walang melamar maka Nyi Mas Gandasari minta dilamar dengan Pedang Curug Sewu. Pangeran Walang tanpa pikir panjang menyerahkan pedang pusaka tersebut bersamaan dengan itu maka hilang semua kesaktian Pangeran Walang.

Dalam keadaan lemah lunglai tidak berdaya Pangeran Walang menyerah total kepada sang penari Nyi Mas gandasari dan memohon ampun kepada Sunan Gunung Jati agar tidak dibunuh. Sunan Gunung Jati memberi ampun dengan syarat harus memeluk agama Islam. Setelah memeluk agama Islam Pangeran Walang dijadikan petugas pemungut cukai dan dia berganti nama menjadi Pangeran Graksan. Sedangkan para pengikut Pangeran Walang yang tidak mau memeluk agama Islam tetapi ingin tinggal di Cirebon, oleh Sunan Gunung Jati diperintahkan untuk menjaga keraton - keraton Cirebon dan sekitarnya.

( Cerita ini diambil dari buku Babad Cirebon Carang Satus dan pernah dipentaskan melalui pagelaran Wayang Golek Cepak oleh Dalang Aliwijaya di Keraton Kacirebonan Cirebon ).

Melihat keberhasilan misi kesenian topeng bisa dijadikan penangkal serangan dari kekuatan - kekuatan jahat maka pihak penguasa Cirebon menerapkan kesenian topeng ini untuk meruat suati daerah yang dianggap angker. Dan kelanjutannya kesenian topeng ini masih digunakan di desa - desa untuk upacara ngunjung, nadran, sedekah bumi dan lain - lainnya.

Setelah masyarakat menerima tradisi meruat itu, di samping harus ada pagelaran wayang kulit juga harus menampilkan tari topeng, maka tumbuh suburlah penari - penari topeng di Cirebon. Namun yang mula - mula menarikan tari topeng ini kebanyakan para dalang wayang kulit yang sebelum pentas wayang, pada siang hari sang dalang harus menari topeng terlebih dahulu. Oleh karenanya para dalang wayang kulit yang lahir sebelum tahun 1930 diwajubkan untuk mendalami tari topeng terlebih dahulu sebelum menjadi dalang wayang kulit. Dalam hubungannya pihak keraton selalu melibatkan kesenian untuk media dakwah dalam penyebaran agama Islam, dan pihak keraton memberikan nama Ki Ngabei untuk seniman yang juga berdakwah.

Kesenian tari topeng Cirebon menjalankan sisi dakwah keagamaan dengan berpijak kepada tata cara mendalami Islam di Cirebon yang mempunyai 4 (empat) tingkatan yang biasa disebut : Sareat, Tarekat, Hakekat dan Ma'ripat.

TARI TOPENG CIREBON

Tari Topeng Cirebon, adalah salah satu tari/cerita tradisional yang masih hidup di kota Cirebon dan sekitarnya.


Secara garis besar tari Topeng Cirebon ini terdiri atas :
1. Tari yang bersifat raksasa ( Danawa )
2. Tari yang bersifat krodan ( gagah ) misalnya : Rahwana, Kangsa
3. Tari Tumenggungan
4. Tari Panji

Dari keempat tari topeng ini dapat dikembangkan secara tradisi, yang memiliki khas sendiri seperti :
1. Tari Panji
2. Tari Samba
3. Tari Tumenggung
4. Tari Rumyang
5. Tari Kelana / Rahwana
6. Tari Jingga Anom
7. Tari Pentul
8. Tari Tembem

Akan tetapi yang sampai saat ini dikenal adalah Tari Panji, Tari Samba, Tari Tumenggung, Tari Rumyang dan Tari Kelana / Rahwana.

Tari Topeng ini sesungguhnya secara filsafat menggambarkan perwatakan kehidupan manusia.

Tari Panji : menggambarkan manusia yang suci layaknya seorang prabu, pemimpin yang arif, adil dan bijaksana dan selalu mengerjakan perbuatan yang baik.
Tari Samba : menggambarkan gemerlapnya keduniawian, harta benda, wanita, bermewah - mewah, glamour. Oleh karena itu tarian ini kelihatan lincah dan kaya akan gerak dan irama.
Tari Tumenggung : adalah gambaran dari sikap kehidupan prajurit dan kepahlawanan yang gagah berani. penuh dedikasi, loyalitas dan tanggung jawab yang tinggi.
Tari Kelana / Rahwana : menggambarkan angkara murka, watak manusia yang serakah dan menghalalkan segala cara demi mewujudkan ambisi pribadinya. Namun dia juga adalah pemimpin yang kaya raya, memiliki keduniawian yang tangguh.
Melihat tradisi seni tari topeng, pengamatan kita tidak bisa lepas dengan perlengkapan yang dipakai seperti tersebut di bawah ini :


Kedok / Topeng yang terbuat dari kayu dan cara memakainya dengan menggigit bantalan karet pada bagian dalam nya.
Sobra sebagai penutup kepala yang dilengkapi dengan jamangan dan dua buah sumping.
Baju yang berlengan.
Dasi yang di lengkapi dengan peniti ukon (mata uang jaman dulu )
Mongkron yang terbuat dari batik lokoan.
Ikat pinggang stagen yang dilengkapi badong.
Celana sebatas bawah lutut.
Sampur / selendang
Gelang tangan
Keris
Kaos kaki putih sampai lutut
Kain batik
Kadang - kadang dilengkapi dengan boro (epek)
Selain kelengkapan busana tersebut di atas kadang - kadang untuk Tari Topeng Tumenggung menggunakan tambahan berupa tutup kepala kain ikat dan di lengkapi dengan peci dan kaca mata.

Iringan gamelan biasanya berlaras slendro atau prawa yang terdiri dari :

Satu pangkon bonang
Satu pangkon saron
Satu pangkon titil
Satu pangkon kenong
Satu pangkon jengglong
Satu pangkon ketuk
Satu pangkon klenang
Dua buah kemanak
Tiga buah gong (kiwul, sabet dan telon)
Seperangkat kecrek
Seperangkat kendang yang terdiri dari : kempyang, gendung, ketiping. Semuanya dimainkan dengan alat pemukul, kecuali untuk Tari Topeng Tumenngung kendang dimainkan secara biasa yaitu di tepak/dipukul dengan tangan.
Lagu - lagu yang mengiringi adalah :

Kembangsungsang untuk Topeng Panji
Kembangkapas untuk Topeng Pemindo
Rumyang untuk Topeng Rumyang
Tumenggung untuk Topeng Tumenggung
Barlen untuk Topeng Jinggaanom
Gonjing untuk Topeng Kelana
Juga dilengkapi dengan lagu tratagan dan lagu wayang perang pada saat perang antara Tumenggung dan Jinggaanom.

Ada baiknya untuk menambah pengetahuan kita bersama untuk mengetahui macam - macam bentuk sobra :

Sobra sulu selembar
Sobra jeruk sejajar
Sobra Gedang searip
Sobra Merang segedeng
Dengan mengetahui perjalanan seni tari tradisional di Cirebon khususnya jelaslah kita dituntut untuk berupaya agar seni ini tidak habis dimakan jaman dan ditinggalkan oleh generasi yang akan datang.

Sumber :
- Hasil Lokakarya "Menyingkap Tari Cirebon" - Keraton Kasepuhan, 19 Desember 1996
- Penulis : E. Yufuf Dendrabrata (Alm)

TARI TOPENG CIREBON

Tari Topeng Cirebon, adalah salah satu tari/cerita tradisional yang masih hidup di kota Cirebon dan sekitarnya.


Secara garis besar tari Topeng Cirebon ini terdiri atas :
1. Tari yang bersifat raksasa ( Danawa )
2. Tari yang bersifat krodan ( gagah ) misalnya : Rahwana, Kangsa
3. Tari Tumenggungan
4. Tari Panji

Dari keempat tari topeng ini dapat dikembangkan secara tradisi, yang memiliki khas sendiri seperti :
1. Tari Panji
2. Tari Samba
3. Tari Tumenggung
4. Tari Rumyang
5. Tari Kelana / Rahwana
6. Tari Jingga Anom
7. Tari Pentul
8. Tari Tembem

Akan tetapi yang sampai saat ini dikenal adalah Tari Panji, Tari Samba, Tari Tumenggung, Tari Rumyang dan Tari Kelana / Rahwana.

Tari Topeng ini sesungguhnya secara filsafat menggambarkan perwatakan kehidupan manusia.

Tari Panji : menggambarkan manusia yang suci layaknya seorang prabu, pemimpin yang arif, adil dan bijaksana dan selalu mengerjakan perbuatan yang baik.
Tari Samba : menggambarkan gemerlapnya keduniawian, harta benda, wanita, bermewah - mewah, glamour. Oleh karena itu tarian ini kelihatan lincah dan kaya akan gerak dan irama.
Tari Tumenggung : adalah gambaran dari sikap kehidupan prajurit dan kepahlawanan yang gagah berani. penuh dedikasi, loyalitas dan tanggung jawab yang tinggi.
Tari Kelana / Rahwana : menggambarkan angkara murka, watak manusia yang serakah dan menghalalkan segala cara demi mewujudkan ambisi pribadinya. Namun dia juga adalah pemimpin yang kaya raya, memiliki keduniawian yang tangguh.
Melihat tradisi seni tari topeng, pengamatan kita tidak bisa lepas dengan perlengkapan yang dipakai seperti tersebut di bawah ini :


Kedok / Topeng yang terbuat dari kayu dan cara memakainya dengan menggigit bantalan karet pada bagian dalam nya.
Sobra sebagai penutup kepala yang dilengkapi dengan jamangan dan dua buah sumping.
Baju yang berlengan.
Dasi yang di lengkapi dengan peniti ukon (mata uang jaman dulu )
Mongkron yang terbuat dari batik lokoan.
Ikat pinggang stagen yang dilengkapi badong.
Celana sebatas bawah lutut.
Sampur / selendang
Gelang tangan
Keris
Kaos kaki putih sampai lutut
Kain batik
Kadang - kadang dilengkapi dengan boro (epek)
Selain kelengkapan busana tersebut di atas kadang - kadang untuk Tari Topeng Tumenggung menggunakan tambahan berupa tutup kepala kain ikat dan di lengkapi dengan peci dan kaca mata.

Iringan gamelan biasanya berlaras slendro atau prawa yang terdiri dari :

Satu pangkon bonang
Satu pangkon saron
Satu pangkon titil
Satu pangkon kenong
Satu pangkon jengglong
Satu pangkon ketuk
Satu pangkon klenang
Dua buah kemanak
Tiga buah gong (kiwul, sabet dan telon)
Seperangkat kecrek
Seperangkat kendang yang terdiri dari : kempyang, gendung, ketiping. Semuanya dimainkan dengan alat pemukul, kecuali untuk Tari Topeng Tumenngung kendang dimainkan secara biasa yaitu di tepak/dipukul dengan tangan.
Lagu - lagu yang mengiringi adalah :

Kembangsungsang untuk Topeng Panji
Kembangkapas untuk Topeng Pemindo
Rumyang untuk Topeng Rumyang
Tumenggung untuk Topeng Tumenggung
Barlen untuk Topeng Jinggaanom
Gonjing untuk Topeng Kelana
Juga dilengkapi dengan lagu tratagan dan lagu wayang perang pada saat perang antara Tumenggung dan Jinggaanom.

Ada baiknya untuk menambah pengetahuan kita bersama untuk mengetahui macam - macam bentuk sobra :

Sobra sulu selembar
Sobra jeruk sejajar
Sobra Gedang searip
Sobra Merang segedeng
Dengan mengetahui perjalanan seni tari tradisional di Cirebon khususnya jelaslah kita dituntut untuk berupaya agar seni ini tidak habis dimakan jaman dan ditinggalkan oleh generasi yang akan datang.

Sumber :
- Hasil Lokakarya "Menyingkap Tari Cirebon" - Keraton Kasepuhan, 19 Desember 1996
- Penulis : E. Yufuf Dendrabrata (Alm)

Panjang Djimat

UPACARA pelal Panjang Jimat sendiri merupakan puncak dari seluruh rangkaian berbagai acara tradisi yang berlangsung di Keraton Kesultanan Kasepuhan, Keraton Kesultanan Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Pelal adalah kata dalam bahasa Jawa Cirebon yang berarti ujung atau akhir.
Seperti daerah lainnya di Pulau Jawa yang memiliki akar budaya tradisi di keraton, peringatan Muludan di Cirebon juga digelar secara meriah sejak sebulan sebelumnya dalam bentuk pesta rakyat dan pasar malam di alun-alun setiap keraton.
PUNCAK dari seluruh rangkaian acara tersebut adalah upacara pelal Panjang Jimat yang diselenggarakan langsung oleh kerabat utama keraton dan dipimpin oleh sultan masing- masing.
Bagi yang pertama kali mendengar mengenai ritual Panjang Jimat ini pasti menduga upacara tersebut melibatkan sebuah jimat atau pusaka milik keraton yang ukurannya panjang. Mungkin senjata sejenis tombak atau semacamnya yang terlintas di kepala.
Padahal, sesungguhnya ritual Panjang Jimat sama sekali tidak berhubungan dengan pusaka atau jimat apa pun, apalagi yang berbentuk gaman atau senjata.
Dari seluruh prosesi iring- iringan ritual tersebut, tidak satu pun perangkat upacaranya berupa senjata pusaka, melainkan berbagai jenis makanan, makanan kecil, dan minuman.
Penguasa Kesultanan Kasepuhan, Sultan Sepuh XIII Maulana Pakuningrat, menjelaskan, nama Panjang Jimat terdiri atas dua kata, yakni "panjang" yang artinya terus-menerus tanpa terputus dan "jimat" yang merupakan akronim dalam bahasa Jawa: siji kang dirumat (satu yang dipelihara).
Menurut Sultan Sepuh, jimat yang dimaksud adalah dua kalimat syahadat yang menjadi pegangan utama umat Muslim sedunia. "Jadi, makna Panjang Jimat adalah pesan kepada setiap umat Islam untuk selalu berpegang kepada dua kalimat syahadat selamanya, terus-menerus tanpa terputus," papar Sultan Maulana Pakuningrat.
PELAKSANAAN puncak upacara Panjang Jimat sendiri dimulai sekitar pukul 20.00 dan dilangsungkan di Bangsal Panembahan dan Bangsal Prabayaksa, dua ruang utama Keraton Kasepuhan.
Di Bangsal Panembahan yang merupakan ruangan paling sakral di keraton, para ulama dan kyai berdoa. Sementara Bangsal Prabayaksa adalah tempat Sultan dan seluruh keluarganya serta para tamu undangan mengikuti upacara.
Di Bangsal Prabayaksa itu, Sultan Sepuh menyerahkan Payung Agung Kesultanan Kasepuhan kepada Putra Mahkota Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat sebagai simbol penyerahan wewenang dan tanggung jawab untuk memimpin seluruh prosesi iring-iringan upacara, dari Bangsal Prabayaksa menuju Langgar Agung di halaman depan keraton.
Setelah payung kebesaran diserahkan, satu demi satu perlengkapan upacara dikeluarkan dari Keputren dan Bangsal Pringgadani untuk disemayamkan sejenak di Bangsal Prabayaksa sebelum dibawa dalam sebuah prosesi menuju Langgar Agung.
Di Keraton Kasepuhan, prosesi Panjang Jimat terdiri atas sembilan kelompok, yang masing-masing memiliki makna tersendiri berkaitan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Kelompok pertama terdiri atas para punggawa dan pengawal keraton yang membawa obor serta payung.
Kelompok pertama ini menggambarkan kesiapan Abdul Mutholib, kakek Nabi Muhammad SAW, yang siap siaga menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW. Obor melambangkan kelahiran Nabi Muhammad SAW pada malam hari.

Kelompok kedua adalah kelompok perangkat upacara yang membawa manggaran, nagan, dan jantungan (semacam hiasan upacara terbuat dari logam berwarna keemasan, berbentuk seperti manggar atau tangkai bunga kelapa, ular naga, dan jantung pisang).
Perangkat upacara tersebut menggambarkan kebesaran dan keagungan bayi yang hendak lahir. Dalam kelompok kedua juga terdapat pembawa air mawar dan pasatan (sedekah) yang melambangkan kelahiran seorang bayi selalu didahului pecahnya air ketuban dan disyukuri dengan memberikan sedekah kepada mereka yang membutuhkan.

Kelompok ketiga terdiri atas Putra Mahkota yang mewakili sultan dengan dinaungi Payung Agung Keraton dan diiringi para sesepuh keraton.
Kelompok ini menyimbolkan bayi yang baru lahir dan kelak akan menjadi seorang pemimpin besar.

Selanjutnya disusul kelompok keempat yang dipimpin oleh Kyai Penghulu dan rombongan pembawa kembang goyang yang melambangkan keluarnya ari-ari sebagai pengiring kelahiran dan boreh atau sejenis jamu yang diberikan kepada ibu yang baru melahirkan guna menjaga kesehatannya. Kelompok ini juga diiringi tujuh pembawa nasi rasul panjang jimat, yaitu nasi yang diwadahi dalam bakul-bakul dan ditutupi menggunakan kain mori putih. Bilangan tujuh melambangkan jumlah hari dalam seminggu.
Kelompok keempat disusul kelompok kelima yang membawa sepasang guci yang berisi minuman serbat. Minuman tersebut melambangkan darah sebagai tanda bahwa kelahiran telah usai.

Di belakangnya menyusul kelompok keenam yang membawa empat baki berisi botol-botol minuman serbat.
Angka empat melambangkan bahwa manusia terdiri atas empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan angin.

Kelompok ketujuh terdiri atas pembawa enam wadah masing-masing berisi nasi uduk (nasi berasa gurih), tumpeng jeneng, dan nasi putih.
Rombongan ini melambangkan bahwa bayi yang baru lahir perlu diberi nama (jeneng) yang baik dengan harapan kelak akan menjadi orang yang berguna.

Kelompok kedelapan terdiri atas empat buah meron (semacam baki besar yang dipikul) berisi bermacam-macam makanan hidangan untuk peserta Asrakalan di Langgar Agung, disusul empat dongdang (pikulan besar berbentuk rumah- rumahan) yang juga berisi berbagai macam lauk-pauk dan makanan kecil untuk hidangan peserta Asrakalan.
Kelompok terakhir atau kesembilan adalah rombongan para sentana wargi (kerabat keraton), nayaka (tetua atau sesepuh), dan para undangan yang ingin mengikuti langsung upacara Asrakalan di Langgar Agung.

Upacara Asrakalan adalah rangkaian terakhir dari upacara Panjang Jimat. Asrakalan dilaksanakan di dalam Langgar Agung dan berisi pembacaan Kitab Barzanzi dan membaca Shalawat Nabi. Asrakalan dilangsungkan sampai tengah malam. Setelah usai, rombongan kembali membawa perangkat upacara ke dalam keraton untuk disimpan dan siap digunakan lagi tahun depan

Sabtu, 01 Agustus 2009

Sejarah Cirebon




Kisah asal-usul Cirebon dapat ditemukan dalam historiografi tradisional yang ditulis dalam bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad ke-18 dan ke-19. Naskah-naskah tersebut dapat dijadikan pegangan sementara sehingga sumber primer ditemukan.

Diantara naskah-naskah yang memuat sejarah awal Cirebon adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad Walangsungsang, dan lain-lain. Yang paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan dengan VOC antara tahun 1706-1723.

Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “sarumban”, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi “Carbon”, berubah menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “Cirebon”. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai “Pusat Jagat”, negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya “Negeri Gede”. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage” dan berproses lagi menjadi “Grage”.

Menurut P.S. Sulendraningrat, penanggung jawab sejarah Cirebon, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi alias Cakrabuana. Kata “Cirebon” berdasarkan kiratabasa dalam Bahasa Sunda berasal dari “Ci” artinya “air” dan “rebon” yaitu “udang kecil” sebagai bahan pembuat terasi. Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu hingga sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik.

Berbagai sumber menyebutkan tentang asal-usul Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon. Dalam sumber lokal yang tergolong historiografi, disebutkan kisah tentang Ki Gedeng Sedhang Kasih, sebagai kepala Nagari Surantaka, bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng Sedhang Kasih, adik Raja Galuh, Prabu Anggalarang, memiliki puteri bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, Putra Prabu Anggalarang.

Karena Raden Pamanah Rasa memenangkan sayembara lalu menikahi Puteri Ki Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subanglarang, dari Nagari Singapura, tetangga Nagari Surantaka. Dari perkawinan tersebut lahirlah tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang dan Raja Sangara. Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang serta Nyai Lara Santang meninggalkan Keraton, dan tinggal di rumah Pendeta Budha, Ki Gedeng Danuwarsih.

Puteri Ki Gedeng Danuwarsih yang bernama Nyai Indang Geulis dinikahi Raden Walangsungsang, serta berguru Agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi. Raden Walangsungsang diberi nama baru, yaitu Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci diganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Atas anjuran gurunya, Raden Walangsungsang membuka daerah baru yang diberi nama Tegal Alang-alang atau Kebon Pesisir. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini “Caruban”, artinya campuran. Bukan hanya etnis yang bercampur, tapi agama juga bercampur.

Atas saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama adiknya, Nyai Lara Santang. Di Tanah Suci inilah, adiknya dinikahi Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putera Nurul Alim. Nyai Lara Santang berganti nama menjadi Syarifah Mudaim.

Dari perkawinan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati. Dilihat dari Genealogi, Syarif Hidayatullah yang nantinya menjadi salahseorang Wali Sanga, menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad.

Sesudah adiknya kawin, Ki Samadullah atau Abdullah Iman pulang ke Jawa. Setibanya di tanah air, mendirikan Masjid Jalagrahan, dan membuat rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela meninggal Ki Samadullah diangkat menjadu Kuwu Caruban dan digelari Pangeran Cakrabuana. Pakuwuan ini ditingkatkan menjadi Nagari Caruban larang. Pangeran Cakrabuana mendapat gelar dari ayahandanya, Prabu Siliwangi, sebagai Sri Mangana, dan dianggap sebagai cara untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana.

Setelah berguru di berbagai negara, kemudian berguru tiba di Jawa. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke Caruban Larang dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Syarif Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan mengajar Agama Islam, menggatikan Syekh datuk Kahfi.

Syekh Jati juga mengajar di dukuh Babadan. Disana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya meninggal, Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati Puteri Pangeran Cakrabuana, disamping menikahi Nyai Lara Bagdad, Puteri Sahabat Syekh Datuk Kahfi.

Syekh Jati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam disana. Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah Pangeran Saba Kingkin , kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin pendiri Kerajaan Banten. Sementara itu Pangeran Cakrabuana meminta Syekh Jati menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullahpun kembali ke Caruban. Di Cirebon ia dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sedjak tahun 1479 itulah, Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon.

Pada awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai kota perdagangan terutama untuk komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke Malaka. Seorang sejarawan Portugis, Joao de Barros dalam tulisannya yang berjudul Da Asia bercerita tentang hal tersebut. Sumber lainnya yang memberitakan Cirebon periode awal, adalah Medez Pinto yang pergi ke Banten untuk mengapalkan lada. Pada tahun 1596, rombongan pedagang Belanda dibawah pimpinan Cornellis de Houtman mendarat di Banten. Pada tahun yang sama orang Belanda pertama yang datang ke Cirebon melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu merupakan kota dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai.

Sejak awal berdirinya, batas-batas wilayah Kesultanan Cirebon termasuk bermasalah. Hal ini disebabkan, pelabuhan Kerajaan Sunda, yaitu Sundakalapa berhasil ditaklukan. Ketika Banten muncul sebagai Kesultanan yang berdaulat ditangan putra Susuhunan Jati, yaitu Maulana Hasanuddin, masalahnya timbul, apakah Sunda Kalapa termasuk kekuasaan Cirebon atau Banten?
Bagi Kesultanan Banten, batas wilayah ini dibuat mudah saja, dan tidak pernah menimbulkan konflik. Hanya saja pada tahun 1679 dan 1681, Cirebon pernah mengklaim daerah Sumedang, Indramayu, Galuh, dan Sukapura yang saat itu dipengaruhi Banten, sebagai wilayah pengaruhnya.

Pada masa Panembahan Ratu, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan kehidupan keagamaan. Kedudukannya sebagai ulama, merupakan salah satu alasan Sultan Mataram agak segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah taklukan. Wilayah Kesultanan Cirebon saat itu meliputi Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kabupaten dan Kotamadya Cirebon sekarang. Ketika Panembahan ratu wafat, tahun 1649 ia digantikan oleh cucunya Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II. Dari perkawinannya dengan puteri Sunan Tegalwangi, Panembahan Girilaya memiliki 3 anak, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Sejak tahun 1678, dibawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon terbagi tiga, yaitu pertama Kesultanan Kasepuhan, dirajai Pangeran Martawijaya, atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kedua Kesultanan Kanoman, yang dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya dikenal dengan Sultan Anom I dan ketiga Panembahan yang dikepalai Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I.

Kota Cirebon tumbuh perlahan-lahan. Pada tahun 1800 Residen Waterloo mencoba membuat pipa saluran air yang mengalir dari Linggajati, tetapi akhirnya terbengkalai. Pada tahun 1858, di Cirebon terdapat 5 buah toko eceran dua perusahaan dagang. Pada tahun 1865, tercatat ekspor gula sejumlah 200.000 pikulan (kuintal), dan pada tahun 1868 3 perusahaan Batavia yang bergerak di bidang perdagangan gula membuka cabangnya di Cirebon. Pada tahun 1877, disana sudah berdiri pabrik es, dan pipa air minum yang menghubungkan sumur-sumur artesis dengan perumahan dibangun pada tahun 1877. Pada awal abad ke-20, Cirebon merupakan salahsatu dari lima kota pelabuhan terbesar di Hindia Belanda, dengan jumlah penduduk 23.500 orang. Produk utamanya adalah beras, ikan, tembakau dan gula.

Keris














Pegangan keris gaya cirebonan berbentuk buta (raksasa)


Keris merupakan alat atau senjata untuk menjaga diri. Untuk masyarakat Jawa pada umumnya keris merupakan sejata tradisional mereka. Begitu pula di Cirebon pada jaman dahulu hampir setiap pria mempunyai keris sebagai tanda seorang pria. Tidaklah lengkap seorang pria yang berjalan keluar rumahnya tanpa sebilah keris di pinggangnya.
Keris di buat oleh seorang Mpu yang tugas dan pekerjaannya adalah sebagai pembuat keris. Pembuatan keris disesuaikan dengan permintaan seseorang; misalnya supaya raja menjadi berwibawa dan disegani oleh masyarakatnya maka si Mpu selama membuat keris tersebut selalu berdoa dan melakukan tindakan bathin seperti berpuasa, matigeni, mutih dan sebagainya agar keris yang mereka buat akan menjadi ampuh, berguna dan sesuai fungsi dari permintaan yang di kehendaki. Contohnya kasus Ken Arok yang memohon kepada Mpu Gandring agar keris yang Mpu buat sanggup untuk membunuh Tunggul Ametung yang sakti. Saat itu Mpu Gandring menyanggupi untuk membuat keris yang bertuah dan mampu untuk membunuh Tunggul Ametung harus di buat selama 7 tahun.


Beberapa fungsi keris dibawah ini adalah:


1. Sebagai alat/senjata pelindung diri.
Untuk berperang sebagian besar pria selalau menggunakan keris. Sebagian orang percaya bahwa keris bertuah dan mengandung tenaga supranatural, sehingga pemegang nya akan selalu berwibawa, membuat takut musuh dan tentu saja akan selalu menang.

2. Sebagai simbol status
Dahulu pemegang keris disesuaikan dengan status mereka saat itu. Ada yang setingkat raja, mentri, bupati, satria atau masyarakat bawah. Status mereka dapat dilihat dari jenis keris misalnya berupa ukiran, warna, asesoris dan modelnya.
3. Untuk upacara dan ritual
Pada saat-saat upacara tertentu keris digunakan sebagai apresiasi seorang raja kepada seseorang yang berjasa, atau sebagai tanda kehadiran seseorang dengan keris walaupun tidak hadir di acara tersebut. Atau sebagai tanda menyerah seperti Pangeran Diponegoro menyerahkan kerisnya ke Belanda pada saat beliau di tangkap. Kadang juga sebagai pelengkap atau asesoris pakaian adat mereka

Wulan Sapar (Saparan)

Saparan atau Safar adalah bulan ke dua dalam perhitungan kalender Islam Jawa. Bulan ini di percaya masyarakat adalah bulan musim kawin hewan, atau khewan sing pada kawin seperti anjing (asu), sehingga di bulan ini sebaikanya tidak dilakukan acara pernikahan atau masyarakat Cirebon mengenal bulan larangan untuk melakukan pernikahan. Disamping itu juga bulan sapar dikenal dengan bulan yang sering terjadi malapetaka atau wulan sing akeh sial (blai) khususnya hari rabu terakhir di bulan ini atau orang Cirebon mengenal dengan istilah "Rebo Wekasan". Asal usul keyakinan ini juga belum jelas tapi dari beberapa sumber yang di yakini masyarakat bahwa si hari rabu terakhir di bulan Sapar ini lah banyak terjadi bala. Sehingga di percaya untuk mencegah bala ini kita di anjurkan melakukan sholat 4 rokaat dengan bacaan surat Al-kautsar sebanyak 17 kali di rokaat pertama, Surat Al-Ikhlas sebanyak 5 kali di rokaat ke dua, Surat Al-Falaq di rokaat ke tiga dan Surat An-nas di baca satu kali di rokaat yang ke empat dan di akhiri dengan membaca do'a Asyura.

Masyarakat Cirebon percaya di bulan ini untuk menghindari melakuakn perjalanan jauh, perkerjaan yang cukup berbahaya. Dianjurkan di bulan ini banyak membantu orang lain dan memperbanyak sedekah khususnya untuk anak-anak yatim, para janda tua dan kaum jompo, dilain itu pula kita lebih meningkatkan dan mempererat tali silaturahmi diantara sesama. Berkaitan dengan ini maka masyarakat Cirebon selama bulan ini melakukan 3 macam kegiatan yang dikenal dengan "Ngapem, Ngirab dan Rebo Wekasan". Ngapem berasal dari kata Apem yaitu berupa kue yang terbuat dari tepung beras yang di fermentasi. Apem dimakan disertai dengan pemanis (Kinca) yang terbuat dari gula jawa dan santan. Umumnya masyarakat masih melakukan ini dengan membagi-bagikan ke tetangga yang intinya adalah bersyukur (Selametan) di bulan sapar yang kita terhindar dari malapetaka. Pesan yang di ambil dari Apem dan Kinca ini juga melambangkan kita untuk lebih memperhatikan fakir miskin , tetangga dan kerabat dekat untuk lebih mempereart tali silaturahmi karna di bulan ini penih dengan malapetaka. Apem juga melambangkan diri kita, pada saat kita memaknnya harus di celupkan di kinca yang melambangkan darah dan juga mengingatkan kita adanya kemungkinan diri kita akan terkena musibah. Ada juga cerita dari beberapa sumber bahwa tradisi ngapem ini berasal dari keraton yang sering membagi-bagikan apem di bulan ini, ada juga diartikan pada masa penjajahan belanda di cirebon bahwa apem melambangkan belanda yang harus di musnahkan dari cirebon dengan memasukan apem ke dalam kinca.
Bulan Safar yang diyakini bulan yang penuh malapetaka yang kemungkinan bisa terjadi di antara kita. hal ini konon di yakini bahwa Sunan kalijaga untuk mencegah kemungkinan datangnya Rebo Wekasan beliau mandi di Sungai Drajat pada saat berguru pada Sunan Gunung Djati untuk membersihkan diri dari bala di hari Rebo Wekasan. Hal ini akhirnya di ikuti oleh masyarakat pada saat itu dan dijadikan adat oleh masyarakat Cirebon. Hingga kini masyarakat Cirebon di hari Rebo Wekasan mengunjungi petilasan Sunan Kalijaga. Dengan menggunakan perahu mereka menuju kalijaga dan melakukan mandi di tempat yang di yakini dulu Sunan kalijaga mandi. Adat ini disebut dengan "Ngirab" yang artinya bergerak atau menggerakan sesuatu untuk membuang yang kotor. Beberapa masyarakat masih meyakini adat ini dengan dengan serius secara sepiritual, akan tetapi kebanyakan orang hanya untuk rekreasi dan bersenang-senang saja untuk melupakan bulan yang penuh bala ini.
Semua kegiatan di bulan Sapar ini belumlah lengkap bila tidak di akhiri dengan Rebo Wekasan yang merupakan hari yang sangat penting. Selepas Isya hingga Shubuh merupakan pergantian hari yg biasanya di pagi hari banyak anak-anak yang berkopiah dengan sarung yang di kalungkan ke badannya akan keliling dari rumah ke rumah untuk mensenandungkan nyanyian "Wur tawur nyi tawur, selamat dawa umur..." yang artinya " Bu, bagikan lah sesuatu ke kami semoga selalu sehat/aman dan panjang umur..." artinya bebas/selamat lah anda setelah hari Rebo terakhir ini. Bisanya si empunya rumah akan menanyakan " Sing endi cung?" terus akan di jawab oleh mereka dari pesantren atau dari daerah mana mereka tinggal...Mereka biasanya berkelompok minimal dua atau tiga orang dan kadang berlima.

Ada juga sumber sejarah yang mengatakan bahwa anak-anak tawurji ini berasal dari pengikut Syeikh Lemahabang/Syeh Siti Djenar alias Syeikh Datuk Abdul Djalil alias Syeikh Jabaranta. Berdasarkan sejarah dari para orang terdahulu bahwa Syek Siti Djenar ini dulunya bagian dari para Wali hanya beliau mengajarkan sesuatu yang membuat orang lupa/mengesampingkan Syariat. sehingga beliau konon di adili oleh dewan Walisongo di Masjid Agung Cirebon dan di eksekusi oleh Sunan Kudus dengan menggunakan keris Kantanaga milik Sunan Gunung Djati. Stelah beliau wafat jasadnya di makamkan di Kemlaten. Setelah wafatnya Syeikh Lemah Abang para pengikutnya (Abangan) sangatlah sedih, maka usul Sunan Kalijaga atas persetujuan Sunan Gunung Djati dengan Rebo Wekasan ini di anjurkan untuk berdoa, memberi selamat dari setiap rumah ke rumah agar selalu dilindungi oleh yang maha kuasa dan mereka di santuni dengan memberikan uang jajan karna tidak ada lagi yang mengasuh mereka.

Sura (Muharram) berkenaan dengan Hari jadi Kota Cirebon

Di Cirebon Sura berdasarkan hari pertama ke sepuluh di bulan Muharam yang juga bertepatan dengan Tahun baru Jawa dan Tahun baru Islam. Kota Cirebon sendiri hari Jadinya bertepatan dengan 1 Sura 1445. Peringatan Tahun baru Islam dan juga hari jadi Cirebon biasanya di rayakan oleh masyarakat Cirebon khususnya keluarga dari Keraton dengan mengadakan acara "Memaca Babad Cirebon" dan juga ada prosesi tertentu di Komplek Makan Sunan Gunung Djati (Gunung Sembung). Biasanya Pemerintah beserta masyarakat setempat mengadakan upacara selamatan berupa festival kebudayaan Cireboon, pameran dan lain-lain.

Didalam bulan muharram juga terkait dengan beberapa kejadian bersejarah. Tanggal 10 Muharram yang kita kenal dengan hari Asyura. Pada hari ini biasanya umat muslim melakukan puasa sunah Asyura. Dipercaya bahwa pada tanggal ini adalah kejadian pertama Adam dan Hawa di turun kan ke dunia akibat kesalahan yang telah mereka lakukan di Syurga, kisah Nabi Idris, mendaratnya kapal Nabi Nuh, Nabi Ibrahim yang diselamatkan dari api yang membakar dirinya, Nabi Musa mendapat 10 perintah tuhan, nabi Yusuf bebas dari penjara akibat fitnah Zulaikha, Nabi Yakub yang bisa meliahat dari kebutaannya, Nabi Yunus keluar dari perut ikan, Nabi Ayub sembuh dari sakit yang dideritanya, Bertemunya nabi Yusuf dan Yakub yang terpisah selama 40 tahun, hari lahirnya Nabi Isa dan diangkatnya beliau ke Syurga, nabi Muhammad saw menikah dengan Siti Khadijah dan masih banyak lagi kejadian-kejadian bersejarah dalam Islam lainnya.

Di Cirebon sendiri masyarakat tradisional masih melakukan Selametan, Sedekah berupa "Bubur Sura atau Bubur Slabrak" yang di bagikan ke tetangga dan saudara terdekat. Bubur ini terbuat dari beras yang dicampur dengan santan. yang diatasnya di taburi dengan beberapa pelengkap seperti tempe, kacang goreng, bawang goreng dan lain-lainnya, yang rasanya khas. Pesan yang di sampaikan dari bubur ini sangat jelas bahwa bubur itu sendiri berwarna putih yang melambangkan hari Asyura yang artinya Suci dan beberapa pelengkap itu sendiri melambangkan bahwa di hari tersebut banyak terjadi event-event bersejarah yang kita harus selalu ingat untuk menambah keimanan kita. Kapan dimulainya adat bubur Sura ini juga masih belum jelas kemungkinan di mulai pada saat jaman para Wali. Tapi sekilas kita bisa tahu bahwa pesan yang disampaikan bahwa selain kita memperingati hari bersejarah umat islam juga kita melatih diri untuk senantiasa bersedekah dan berbagi dengan orang lain di sekitar kita.

Makam di Amparan Jati (Gunung sembung)

Di kompleks Makan sunan Gunung Jati terdapat beberapa tingkat dan gedung yang terdiri dari beberapa makam sesuai masa para pendahulu. Di bawah ini susunan gedung dan makam yang terdapat di dalam nya:

Gedung Jinem
1. Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati
2. Tubagus Paseh/Fadillah Khan/Falatehan
3. Nyi Mas Rarasantang/Nyi Mas Syarifah Mudaim
4. Nyi Mas Khuraisin/Nyi Gede sembung
5. Nyi Mas Pakungwati/Nyi Gede Tepasari
6. Pangeran Dipati Carbon
7. Pangeran Bratakelana
8. Pangeran Pasarean
9. Ratu Mas Nyawa
10. Ratu Wanawati
11. Pangeran Dipati Ratu
12. Ratu Raja Wulung Ayu
13. Pangeran Dipati Agung
14. Ratu Raja Agung
15. Pangeran sendang Lemper
16. Putra Tubagus Paseh
17. Putra
18. Putra

Kompleks Mbah Kuwu Carbon
1. Pangeran Walangsungsang/Mbah Kuwu Carbon/Pangeran Cakrabuana
2. Sayid Abdurahman/Pangeran Panjunan
3. Sayid syarifudin/Pangeran Kejaksan
4. Puti Nio Ong Tien/Nyi Mas Rara sumanding

Kompleks Ki Gede Bungko
1. Ki Gede Sembung/Gegeden Kalisapu
2. Pangeran Tuban
3. Pangeran Sendang Jayaning Laut
4. Pangeran Puyuman/Ki gede Bungko

Kompleks Panembahan Ratu
1. Pangeran Dipati Wirasuta
2. Sultan Panembahan Ratu/Sultan II Cirebon
3. Ratu Mas Gelampok/Nyi Mas Ratu Pajang
4. Pangeran Suryamajanegara
5. Ki surapati Nenggala/Dipati Keling

Kompleks Pangeran sendang Garuda
1. Pangeran Manis/Ki Penanggapan
2. Ratu Sekarwangi
3. Pangeran Jipang
4. Ratu Sandrawati
5. Raden Pandan
6. Raden Sepet
7. Pangeran Kagok
8. Pangeran Magrib
9. Pangeran Sindang Garuda

Gedung Sultan sepuh Awal
1. Pangeran Wanaon
2. Pangeran Dipati Agung
3. Pangeran Dipati Ageng
4. Nyi Mas Ratu Sewu
5. Pengeran Dipati Permadi
6. Sultan Raja samsudin/Sultan sepuh Awal
7. Guti Ayu Wedaling Asri

Gedung Sultan Gusti
1. Pangeran Dipati Anom Ngalenggah
2. Pangeran Nata Carbon
3. Ratu Dalem Kencanawungu
4. Sultan Muhammad Badridin/Sultan Kanoman Awal

Gedung Sultan Jamaludin
1. Sultan sepuh Raja Jamaludin
2. Gusti Ayu Ratnawulan
3. Pangeran Wijayakarta
4. Pangeran Tumenggung
5. Pangeran suryaningrat
6. Pangeran Giri Pamungkas
7. Pangeran Demang
8. Pangeran Arya Carbon
9. Ratu Arya Carbon
10. Ratu Ayu Raja Widianingsih
11. Panembahan Pati Tohpati
12. Ratu Ganjarpati
13. Pangeran Giri Panata
14. Pangeran Wanatapati

Gedung Sultan Komarudin
1. Sultan Muhammad Komarudin
2. Ratu Dalem Nurul Lintang

Gedung Panembahan Anom
1. Panembahan Ratu Sesangkan
2. Nyi Mas Ratu Sesangkan
3. Panembahan Mas Carbon
4. Nyi Mas Ratih Ria
5. Nyi Mas Giri Carbon

Gedung Sultan Mandurareja
1. Pangeran Dipati Raja Kesumah
2. Sultan Muhammad Mandurareja
3. Sultan Muhammad Abusoleh Alimudin
4. Pangeran Dipati Kedaton
5. Pangeran Dipati Rama Menggala
6. Pangeran Dipati Keprabon
7. Pangeran Gusti
8. Ratu Dalem sekar Kedaton
9. Pangeran Kesumahdiningrat
10. Pangeran Werak

Gedung Gedhong Malang
1. Sultan Raja Tajul Arifin
2. Pangeran Dipati Tohpati
3. Pangeran Temenggung
4. Pangeran Sebrang
5. Pangeran Natareja
6. Nyi Mas Ratu Natareja
7. Sultan Raja Jaenudin
8. Ratu Raja Wulung Ayuntiarsih
9. Pangeran Raja Ningrat
10. Pangeran Raja Kidul
11. Ratu Raja Wulung Ayu
12. Ratu Siti Khodijah
13. Pangeran Dipati Adiwijaya
14. Ki Mudin Jamiril
15. Ki Wisesa
16. Pangeran Wijayanegara
17. Pangeran Kesumaningrat
18. Ratu Endangsari
19. Ratu Kesimpar
20. Pangeran Baureksa

Gedung Sultan Nurus
1. Pangeran Wangsa Kertayasa
2. Pangeran Dipati Rama Menggala
3. Pangeran Dipati Eyang Suwargi
4. Pangeran Dipati Nayaka
5. Ratu Dalem Rosma Kencana Furi
6. Sultan Muhammad Nurbuat
7. Sultan Muhammad Zulkarnaen
8. Ratu Dalem Raja Wulung Ayu
9. Ratu Dalem Agustina
10. Sultan Muhammad Nurus
11. Pangeran sukma Gianti

Gedung Sultan Matanghaji
1. Sultan Raja Saefudin Matanghaji
2. Gusti Ayu Kesuma ningrat
3. Pengeran Dipati Ugawa
4. Pangeran Arya Carbon
5. Pangeran selang
6. Pangeran Hadibrata

Gedung Sultan sena
1. Sultan Sena Muhammad Zaenuddin
2. Gusti Ayu Raja Ratna
3. Pangeran Dipati Rajaningrat
4. Pangeran Dipati Suryaningrat

Gedung Kadipaten
1. Ki Khotib Madlain
2. Pangeran Dipati Suryamenggala
3. Pangeran Dipati Arya Kulon
4. Pangeran Dipati Arya Kidul
5. Pangeran Sendang Blimbing
6. Pangeran Dipati Anom Carbon
7. Pangeran Dipati Wiranegara
8. Pangeran Dipati Wirasuta
9. Nyi Mas Ratu Demang
10. Nyi Mas Ratu Winaon
11. Pangerang Purabaya (ada diluar gedung)

Gedung Nyi Mas Rarakerta
1. Nyi Mas Ratu Rengsari
2. Nyi Ma Ratu Dampo
3. Nyi Mas Ratu Medangsari
4. Nyi Mas Ratu Rarakerta
5. Nyi Mas Ratu Pamuji
6. Nyi MasRatu Kirana
7. Pangeran Dipati Awangga (ada diluar gedung)

Kompleks Nyi Gede Babadan
1. Pangeran Jakalelana
2. Pangeran Sukmalelana
3. Nyi Gede Babadan/Nyi Mas Selangkring
4. Nyi Mas Tanjungsari

Gedung Sultan Raja suleman
1. Pangeran Dipati Natahing Carbon
2. Pangeran Adiwinata
3. Pangeran Dipati Ragahingsukma
4. Ratu Raja Wulandari
5. Ratu Kencana
6. Sultan Sepuh Raja suleman
7. Sultan Sepuh Raja Hasanudin
8. Sultan Sepuh Raja samsudin
9. Sultan Sepuh Raja Ningrat
10. Sultan Sepuh Raja Jamaludin Aluda
11. Sultan Sepuh Rajaningrat
12. Ratu Ratna sawiji
13. Ratu Rata Kesumaning Ayu
14. Pangeran Diupati suryanegara
15. Pangeran Angkawijaya
16. Pangeran Antasena
17. Pangeran Ngalaga
18. Pangeran Wisnu Hain
19. Ratu Raja Wulangkencana
20 Ratu Raja Antarwulan

Nama-nama Pintu bagian dalem urutan dari atas
1. Pintu Gusti
2. Pintu Bachem
3. Pintu Kacha
4. Pintu soko
5. Pintu Pandan
6. Pintu Gandok
7. Pintu Pesujudan (tempat para penziarah umum)
8. Pintu Dalem Keraton
9. Pintu Beling
10. Pintu Penganten

Beberpa pintu lain nya yg terletak di komplek Makam
1. Pintu Terathe (Terletak di Makam Nyi Putri Cina)
2. Pintu Kanoman (Terletak di dekat sumur Kanoman)
3. Pintu Mregu (terletak di tempat orang Cina berziarah)
4. Pintu Krapyak (Terletak di tempat Kraman)
5. Pintu Panglubar (Pintu pertama tamu masuk/Alun-alun)

Nama-nama tempat & Jalan Di Cirebon

Nama-nama tempat dan jalan di cirebon menyesuaikan tempat kegiatan atau kejadian di daerah waktu itu. Kemungkinan dulu orang sangat susah untuk menentukan atau menyebutkan alamat seseorang. Hingga saat ini pun nama-nama tersebut tetap abadi hanya beberapa tempat sudah berubah nama daerah dan jalannya.

Pasuketan
Dahulu daerah ini tempat Andong/Delman ngetem sehingga banyak sekali rumput di tumpuk/dikumpulkan di daerah ini

Pejlagrahan
Ini lah nama tempat pertama Pangeran Walangsungsang membangun pedukuhan di Cirebon dan disini pula terdapat masjid tertua di Cirebion dengan nama Masjid Pejlagrahan.

Pegajahan
Belum jelas kenapa di sebut pegajahan. Mungkin dahulu tempat kandang gajah kraton

Pulasaren

Pagongan
Tempat pembuat dan pengrajin gong

Prujakan
Banyak orang yang jualan rujak disini

Karanggetas
Dahulu pada saat syeh magelung datang ke tanah cirebon beliau mencari orang yang sakti untuk memotong rambutnya. Karna saking panjangnya rambutnya di gelung/diiket oleh karena itu beliau di sebut Syeh Magelung. Saat itu juga bertemu dengan Sunan Gunung Djati. Dengan menggunakan tangannya Sunan dapat memotong rambut. Dan kejadian itu konon di jalan Karang getas sekarang ini

Panjunan
Tempat rumah dan Masjid Pangeran Panjunan

Pandesan

Kepatihan
Tempat tinggal Pangeran Patih

Pekawatan

Cangkol

Kebumen

Kacirebonan
Kraton sebagai tempat tinggal Sultan Kacirebonan beserta keturunan nya. Keraton Kacirebonan ini merupakan pecahan dari Kasultanan kanoman.

Kaprabonan
Kraton sebagai tempat tinggal Sultan Kaprabonan beserta keturunan nya. Keraton Kaprabonan juga merupakan pecahan dari Kasultanan kanoman.

Kanoman
Kraton sebagai tempat tinggal para Raja-raja Kanoman dan keturunan nya

Kalijaga
Konon dulu Sunan Kalijaga pernah bersemadi di daerah ini pada saat mempersiapkan pembangunan Masjid Agung Sang Ciptarasa sehingga tempat ini dikenal dengan nama Kalijaga

Kesambi

Kesunean

Pegambiran

Kesenden

Kegiren

Gamelan Cirebon

Hampir di semua Kraton yang ada di Cirebon selalu ada gamelan. Gamelan sudah merupakan bagian dari keraton. Begitu pula di lobby-lobby hotel saat ini banyak sekali mereka menggunakan gamelan untuk menyambut tamu dan lain-lain nya.

Gamelan adalah kumpulan dari berbagai macam alat musik yg di padukan menjadi satu sonata. Sehingga bisa kita sebut orchestra. Sehingga kita bisa menyebutnya "The Gamelan Cirebonesse Orchestra". Di Cirebon dikenal ada dua laras, yaitu Laras Slendro dan Pelog ada juga Prawa (Jenis laras ini sudah jarang di temui di Cirebon). Kedua laras ini menggunakan tangga nada yang sama yaitu Pentatonis berupa: da mi na ti la
Laras Slendro biasanya digunakan untuk Pagelaran Wayang kulit sedangkan Pelog biasanya digunakan untuk penyerta Seni Tari; Topeng, Wayang uwong, Tayuban. Kalau di liat sepintas memang sama tapi laras Pelog lebih berkesan meriah dibandingkan Slendro.

Lagu-lagu yang sering dilantunkan biasanya : Dermayon, Kiser, Rumyang, Bendrong, Tutul Pindang, Tratagan, Waledan, Kebo Giro, Barlen, Temenggungan, Dodoan, Slontongan, dan lain-lain.

Gamelan Cirebon biasanya terdiri dari beberapa alat musik yang masing-masing mempunyai ciri khas suara dan cara memainkannya pun berbeda.

Di bawah ini alat-alat music Gamelan Cirebon yang sering di gunakan pada setiap pagelaran.

Kendang
Terbuat dari kayu utuh yang di lubangi dan dipasangi dengan kulit di kedua sisinya. Ukuran kendang bermacam-macam. Satu set kendang terdiri dari 4 kendang kecil dan 1 kendang besar. Kendang berfungsi sebagai konduktor. Jadi penabuh kendah harus mengetahui alur music yang di mainkan. Juga harus mengikuti gerakan tarian sipenari atau juga gerakan Dalang saat memainkan wayang.

Saron
Saron terdiri dari 7 bilah yang terbuat dari perunggu dan dipasang diatas kayu dengan luabng di bawahnya yang berfungsi sebagai resonansi sehingga suaranya terdengar keras.

Bonang
Berbentuk mangkok dengan kepala berbentuk bundar. Dipasang di atas tali yang dihubungkan berjejer dengan satu sama lainnya.

Gender
Berbentuk seperti Saron tapi menghasilkan suara rendah teruat dari perunggu dan dipasangi silinder diibwahnya. biasanya terbuat dari bambu.

Gambang
Terbuat dari Kayu berjajar, berbentuk seperti saron tapi terdiri dari 4 tangga nada sehingga si penabuh selalu memainkan nya sesuai dengan irama musik dan diselaraskan dengan alunan pesinden dan suling

Gong
Berbentuk bundar dan berukuran besar sekitar 75-100cm diameternya.

Kempul
Gong kecil

Kenong
Pasangan dengan Jengglong berbentuk seperti bonang besar dan agak cungkup dan menghasilkan suara dengan resonansi yang lama

Ketuk
Terdiri dari 2 buah alat musik. yang berfungsi sebagai penyelaras tempo

Jengglong
Berbentuk seperti bonang yang berukuran besar

Suling
Terbuat dari bambu yang terdiri dari 6 lubang.

Bedug
Berbentuk sama seperti kendang hanya berukuran besar. Biasanya berdiameter lebih dari 1 meter di kedua sisinya. Menggunakan kulit lembu besar dan kayu yg berukuran besar pula

Kecrek

Sabtu, 25 Juli 2009


ARJUNA adalah putra Prabu Pandudewanata, raja negara Astinapura dengan Dewi Kunti/Dewi Prita putri Prabu Basukunti, raja negara Mandura.
Arjuna merupakan anak ke-tiga dari lima bersaudara satu ayah, yang dikenal dengan nama Pandawa.
Dua saudara satu ibu adalah Puntadewa dan Bima/Werkudara.
Sedangkan dua saudara lain ibu, putra Pandu dengan Dewi Madrim adalah Nakula dan Sadewa.
Arjuna seorang satria yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu.
Selain menjadi murid Resi Drona di Padepokan Sukalima, ia juga menjadi murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana.
Arjuna pernah menjadi Pandita di Goa Mintaraga, bergelar Bagawan Ciptaning.
Arjuna dijadikan jago kadewatan membinasakan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka.
Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Kaindran bergelar Prabu Karitin dan mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain ; Gendewa ( dari Bathara Indra ), Panah Ardadadali ( dari Bathara Kuwera ), Panah Cundamanik ( dari Bathara Narada ).
Arjuna juga memiliki pusaka-pusaka sakti lainnya, atara lain ; Keris Kiai Kalanadah, Panah Sangkali ( dari Resi Durna ), Panah Candranila, Panah Sirsha, Keris Kiai Sarotama, Keris Kiai Baruna, Keris Pulanggeni ( diberikan pada Abimanyu ), Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton ( pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan Pringcendani ) dan Kuda Ciptawilaha dengan Cambuk Kiai Pamuk. Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain: Panglimunan, Tunggengmaya, Sepiangin, Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama.
Arjuna mempunyai 15 orang istri dan 14 orang anak.
Adapun istri dan anak-anaknya adalah :

1. Dewi Sumbadra , berputra Raden Abimanyu.

2. Dewi Larasati , berputra Raden Sumitra dan Bratalaras.

3. Dewi Srikandi

4. Dewi Ulupi/Palupi , berputra Bambang Irawan

5. Dewi Jimambang , berputra Kumaladewa dan Kumalasakti

6. Dewi Ratri , berputra Bambang Wijanarka

7. Dewi Dresanala , berputra Raden Wisanggeni

8. Dewi Wilutama , berputra Bambang Wilugangga

9. Dewi Manuhara , berputra Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati

10. Dewi Supraba , berputra Raden Prabakusuma

11. Dewi Antakawulan , berputra Bambang Antakadewa

12. Dewi Maeswara

13. Dewi Retno Kasimpar

14. Dewi Juwitaningrat , berputra Bambang Sumbada

15. Dewi Dyah Sarimaya.
Arjuna juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu ; Kampuh/Kain Limarsawo, Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung Candrakanta dan Cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, raja negara Paranggelung).
Arjuna juga banyak memiliki nama dan nama julukan, antara lain ; Parta (pahlawan perang), Janaka (memiliki banyak istri), Pemadi (tampan), Dananjaya, Kumbaljali, Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra Bathara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Danasmara ( perayu ulung ) dan Margana ( suka menolong ).
Arjuna memiliki sifat perwatakan ; Cerdik pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi yang lemah.
Arjunaa memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang Bhatarayuda, Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata.
Akhir riwayat Arjuna diceritakan, ia muksa ( mati sempurna ) bersama ke-empat saudaranya yang lain.

ANTASENA adalah Putra Bima/Werkundara, salah satu dari lima satria Pandawa, dengan Dewi Urangayu, putri Hyang Mintuna (Dewa ikan air tawar) di Kisiknarmada.
Antasena mempunyai 2 (dua) orang saudara seayah lain ibu, yaitu : Antareja, putra Dewi Nagagini, dan Gatotkaca, putra Dewi Arimbi.
Sejak kecil Anantasena tinggal bersama ibu dan kakeknya di Kisiknarmada.
Seluruh badannya berkulit sisik ikan/udang hingga kebal terhadap senjata. Antasena dapat hidup di darat dan di dalam air.
Antasena mempunyai kesaktian berupa sungut sakti, mahluk apapun yang tersentuh dan terkena bisa-nya akan menemui kematian.
Antasena juga memiliki pusaka Cupu Madusena, yang dapat mengembalikan kematian di luar takdir.
Antasena juga tidak dapat mati selama masih bersinggungan dengan air atau uap air.
Antasena berwatak jujur, terus terang, bersahaja, berani kerena membela kebenaran, tidak pernah berdusta.
Setelah dewasa, Antasena menjadi raja di negara Dasarsamodra, bekas negaranya Prabu Ganggatrimuka yang mati terbunuh dalam peperangan. Antasena meninggal sebelum perang Bharatayuda.
Antasena mati moksa (lenyap dengan seluruh raganya) atas kehendak/kekuasaan Sang Hyang Wenang.

Antareja adalah putera Bima/Werkundara, salah satu dari lima satria Pandawa, dengan Dewi Nagagini, putri Hyang Anantaboga dengan Dewi Supreti dari Kahyangan Saptapratala.
Antareja mempunyai 2 (dua) orang saudara lelaki lain ibu, bernama: Raden Gatotkaca, putra Bima dengan Dewi Arimbi, dan Arya Anantasena, putra Bima dengan Dewi Urangayu.
Sejak kecil Antareja tinggal bersama ibu dan kakeknya di Saptapratala (dasar bumi).
Antareja memiliki ajian Upasanta pemberian Hyang Anantaboga.
Lidahnya sangat sakti, mahluk apapun yang dijilat telapak kakinya akan menemui kematian.
Antareja berkulit napakawaca, sehingga kebal terhadap senjata.
Antareja juga memiliki cincin mustikabumi, pemberian ibunya, yang mempunyai kesaktian, menjauhkan dari kematian selama masih menyentuh bumi/tanah, dan dapat digunakan untuk menghidupkan kembali kematian di luar takdir.
Kesaktian lain Antareja dapat hidup dan berjalan didalam bumi.
Antareja memiliki sifat dan perwatakan : jujur, pendiam, sangat berbakti pada yang lebih tua dan sayang kepada yang muda, rela berkorban dan besar kepercayaanya kepada Sang Maha Pencipta.
Antareja menikah dengan Dewi Ganggi, putri Prabu Ganggapranawa, raja ular/taksaka di Tawingnarmada, dan berputra Arya Danurwenda.
Setelah dewasa Antareja menjadi raja di negara Jangkarbumi bergelar Prabu Nagabaginda.
Antareja meninggal menjelang perang Bharatayuda atas kemauannya sendiri dengan cara menjilat telapak kakinya sebagai tawur (korban untuk kemenangan) keluarga Pandawa dalam perang Bharatayuda.

Anoman, adalah salah satu dewa dalam kepercayaan agama Hindu, sekaligus tokoh protagonis dalam wiracarita Ramayana yang paling terkenal. Ia adalah seekor kera putih dan merupakan putera Batara Bayu dan Anjani, saudara dari Subali dan Sugriwa. Menurut kitab Serat Pedhalangan, tokoh Hanoman sebenarnya memang asli dari wiracarita Ramayana, namun dalam pengembangannya tokoh ini juga kadangkala muncul dalam serial Mahabharata, sehingga menjadi tokoh antar zaman. Di India, hanoman dipuja sebagai dewa pelindung dan beberapa kuil didedikasikan untuk memuja dirinya.

ABIMANYU dikenal pula dengan nama :
Angkawijaya,
Jaya Murcita,
Jaka Pangalasan,
Partasuta,
Kirityatmaja,
Sumbadraatmaja,
Wanudara dan
Wirabatana.
Abimanyu adalah putra Arjuna, salah satu dari lima satria Pandawa dengan Dewi Sumbadra, putri Prabu Basudewa, raja Negara Mandura dengan Dewi Badrahini.
Abimanyu mempunyaai 13 orang saudara lain ibu, yaitu : Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Anantadewa dan Bambang Sumbada.
Abimanyu merupakan makhluk kekasih Dewata.
Sejak dalam kandungan Abimanyu telah mendapat “Wahyu Hidayat”, yang mempunyai daya : mengerti dalam segala hal.
Setelah dewasa Abimanyu mendapat “Wahyu Cakraningrat”, suatu wahyu yang dapat menurunkan raja-raja besar.
Abimanyu mempunyai sifat dan perwatakan; halus, baik tingkah lakunya, ucapannya terang, hatinya keras, besar tanggung jawabnya dan pemberani. Dalam olah keprajuritan ia mendapat ajaran dari ayahnya, Arjuna.
Sedang dalam olah ilmu kebathinan mendapat ajaran dari kakeknya, Bagawan Abiyasa.
Abimanyu tinggal di kesatrian Plangkawati, setelah dapat mengalahkan Prabu Jayamurcita.
Abimanyu mempunyai dua orang isteri, yaitu :
1. Dewi Siti Sundari, putri Prabu Kresna , Raja Negara Dwarawati
dengan Dewi Pratiwi, dan
2. Dewi Utari, putri Prabu Matswapati
dengan Dewi Ni Yutisnawati, dari negara Wirata, dan berputra
Parikesit.
Abimanyu gugur dalam perang Bharatayuda oleh gada Kyai Glinggang milik Jayadrata, satria Banakeling.

MENGENAL TOKOH PEWAYANGAN

Marilah sejenak kita mengenal seluk beluk dan karakteristik pelakon dalam pewayangan,biar kesenian ini tidak lekang oleh jaman.
sebelumnya saya akan memberikan dulu istilah istilah yang dipergunakan dalam pewayangan

Berikut ini adalah sebutan yang digunakan dalam dunia pewayangan:

1. Begawan adalah sebutan untuk seorang pendeta yang berasal dari raja yang
meninggalkan kerajaan
2. Batara atau Betara adalah sebutan untuk tokoh wayang yang berjiwa Ketuhanan,
dan merupakan titisan dewa
3. Dahyang: sama dengan sebutan Pendeta.
4. Dewa: sebutan untuk tokoh wayang yang berjiwa Ketuhanan.
5. Dewi: sebutan untuk seorang puteri kerajaan atau sebutan untuk dewa perempuan
6. Yanggan : sebutan rendahan dari tokoh Wasi.
7. Resi : sebutan untuk seorang yang suci.
8. Sang: awalan sebutan yang luhur.
9. Pandita : sebutan seorang yang luhur jiwanya.
10. Wara : sebutan seorang yang tersohor, baik laki-laki atau perempuan.
11. Wasi sebutan seorang pendeta yang agak rendahan.
12. Putut : sebutan seorang murid atau pelayan pendeta.
13. Cekel: hamba seorang pendeta yang dianggap keluarga.
14. Cantrik : hamba atau anak murid pendeta.
15. Prabu : sebutan seorang raja.

Rabu, 22 Juli 2009

Asal - Usul nama Jasinga

* sejarah

Beberapa cerita rakyat tentang lahirnya beberapa nama-nama desa atau daerah Bogor memang ada, seperti Rancamaya, Bantarjati, Ciaruteun, Cikeas, Kedunghalang, dan sebagainya. Untuk wilayah Bogor bagian barat terdapat nama-nama daerah yang cukup tua seperti Ciaruteun, Argapura (Rengganis) dan Jasinga.

Pada masa lalu, Jasinga meliputi batas-batas Sajira di sebelah Barat, Tangerang di sebelah Utara, Bayah di sebelah Selatan dan Cikaniki di sebelah Timur. Berlalunya waktu, Jasinga kini meliputi daerah Cigudeg, Tenjo, Nanggung, Parungpanjang dan Jasinga sebagai titik pusatnya.

Oleh orang-orang tua dulu Jasinga disebut juga Bogor-Banten, bahkan juru pantun terkenal Sunda yaitu Aki Buyut Baju Rambeng berasal dari daerah Bogor-Banten atau yang tinggal di daerah Pegunungan Tonggoheun Jasinga. Disebut Bogor-Banten karena posisiya berbatasan langsung dengan wilayah Banten. Tidak hanya batas wilayah tetapi ditinjau dari budaya, perilaku serta dialek bahasa mirip sekali dengan masyarakat Banten yang sebagian tidak terpengaruh dengan budaya Priangan. Kini Jasinga termasuk wilayah administrasi Kabupaten Bogor.

Mengenai asal usul nama Jasinga sendiri hingga kini masih terdapat berbagai versi. Kebanyakan versi yang melekat dan diyakini masyarakat yaitu cerita yang didapat dari penuturan turun temurun dari mulut ke mulut para sesepuh setempat. Hanya orang-orang tertentu saja yang merujuk kepada sumber autentik dan masih dijadikan bahan kajian bagi masyarakat Jasinga untuk menambah versi.

Ada beberapa versi mengenai asal usul nama Jasinga antara lain :
1. Mitos seekor Singa yang melegenda, jelmaan dari tokoh-tokoh Jasinga.
2. Pembukaan lahan yang dilakukan oleh Wirasinga, hingga nama lahan tersebut dijadikan nama Jasinga atas jasa Wirasinga.
3. Jayasingharwarman (358-382 M) Raja Tarumanagara I yang mendirikan Ibukota dengan nama Jayasinghapura.
4. Dua dari tujuh ajaran Sanghyang Sunda yaitu Gajah lumejang dan Singa bapang yang digabungkan menjadi Jasinga.

Pendapat pertama, bahwa nama Jasinga dikaitkan dengan riwayat atau cerita yang dituturkan oleh para sesepuh Jasinga seperti Wirasinga, Sanghyang Mandiri dan Pangeran Arya Purbaya dari Banten. Dalam setiap hidupnya serta perjuangannya mempunyai wibawa seperti seekor singa. Bahkan sempat berwujud menjadi seekor Singa. Perwujudan Singa tersebut membuat orang disekitar yang melihatnya menjadi terkejut dan kagum, dan setiap orang yang melihat akan mengucapkan : “Eeh.. Ja.. Singa eta mah”. Kata “Ja” menjadi kata identitas tersendiri di Jasinga yang berguna untuk memperjelas kalimat berikutnya, seperti ”Da” di daerah Priangan.

Pendapat kedua meyakini bahwa Wirasinga keturunan Sanghyang Mandiri (Sunan Kanduruan Luwih) membuka lahan di Pakuan bagian barat (Ngababakan lembur anyar). Nama daerah tersebut dinamakan Jasinga oleh Sanghyang Mandiri serta menobatkan Wirasinga sebagai penguasa baru Jasinga atau sebagai Jaya Singa sebuah daerah yang makmur yang dipimpin oleh Wirasinga, seperti Jakarta yang berasal dari daerah yang bernama Jaya Karta dengan salah satu pemimpinnya yaitu Pangeran Jaya Wikarta.

Pendapat ketiga cukup menarik karena mengacu pada sejarah autentik bahwa Jasinga berasal dari kata Jayasingha. Diceritakan bahwa seorang Reshi Salakayana dari Samudragupta (India) dikejar-kejar oleh Candragupta dari Kerajaan Magada (India), hingga akhirnya mengungsi ke Jawa bagian barat. Ketika itu, Jawa bagian barat masih dalam kekuasaan Dewawarman VIII (340-362 M) sebagai raja dari kerajaan Salakanagara. Jayasingharwarman menikah dengan Putri Dewawarman VIII yaitu Dewi Iswari Tunggal Pertiwi, dan mendirikan ibukotanya Jayasinghapura. Jayasinghawarman (358-382 M) bergelar Rajadiraja Gurudharmapurusa wafat di tepi kali Gomati (Bekasi) Ibukota Jayasinghapura dipindahkan oleh Purnawarman Raja Taruma III (395-434 M) ke arah pesisir dengan nama Sundapura.

Satu tambahan sebagai pendapat keempat bahwa Jasinga berasal dari kata Gajah Lumejang Singa Bapang. Dua dari tujuh ajaran Sanghyang Sunda sekaligus menetapkannya sebagai suatu tempat komunitas Sunda. Tujuh ajaran tersebut yaitu : Pangawinan (Pedalaman Banten), Parahyang (Lebak Parahyang), Bongbang (Sajira), Gajah Lumejang (Parung Kujang-Gn. Kancana), Singa Bapang (Jasinga), Sungsang Girang (Bayah), Sungsang Hilir (Jampang-Pelabuhan Ratu).

Tujuh ajaran tersebut mempengaruhi Purnawarman sebagai Raja Taruma III (395-434 M), sehingga ia mendirikan ibukota dengan nama Sundapura. Keruntuhan Taruma terjadi pada masa Linggawarman (669-732 M) sebagai Raja Taruma XII karena begitu kuatnya pengaruh Sunda. Putri Linggawarman yaitu Dewi Manasih (Minawati) dinikahkan dengan Tarusbawa putra Rakyan Sunda Sembawa. Tarusbawa menjadi Raja Sunda (669-732 M) dan Taruma pun runtuh. Pengaruh Hindu pun akhirnya melemah dan menjadi ajaran leluhur ajaran Sanghyang Sunda.

Dua titik wilayah yang merupakan Sanghyang Sunda yaitu Gajah Lumejang-Singa Bapang dijadikan tempat laskar bagi Kerajaan Sunda. Dan kedua nama tersebut disatukan menjadi Gajah Lumejang Singa Bapang kemudian menjadi nama Jasinga (Ja=Gajah Lumejang, Singa=Singa Bapang). Perpaduan dua Filosofi Gajah dan Singa.

Tujuh ajaran Sanghyang Sunda tersebut tercantum dalam Kitab Aboga yang diperkirakan dibuat pada masa kejayaan Kerajaan Pajajaran seperti dituturkan oleh narasumber bahwa kitab tersebut di bawa ke Leiden pada akhir abad 19.

Dengan memaknai baik secara kosakata (etimologi) maupun perlambangan (Hermeneutika), Jasinga mempunyai makna yang berarti. Dengan nama Jasinga lahirlah sebuah cerita rakyat melegenda hingga kini bagi masyarakat Jasinga. Di samping itu, adanya sosok Singa sebagai mitos merupakan wujud kewibawaan para penghulu Jasinga.
Nama Jasinga ditinjau secara autentik yaitu menunjuk pada naskah-naskah kuno atau kajian sejarah Sunda terdapat Jayasinghapura yang berarti gerbang kemenangan yang didirikan oleh Raja Taruma I (Jayasinghawarman).

Dalam naskah sejarah yang ditulis dan dirangkum oleh Panitia Wangsakerta Panembahan Cirebon, nama Jasinga terdapat dalam sejarah Lontar sebagai tempat rujukan untuk melengkapi Kitab Negara Kretabhumi yang disusun untuk pedoman bagi raja-raja nusantara. Kitab itu disusun selama 21 tahun (1677-1698 M) pada masa-masa genting yaitu beralihnya raja-raja di Nusantara ke dalam penjajahan Belanda. Lontar itu berjudul ”Akuwu Desa Jasinga”. Perlu dikaji bila naskah itu masih ada.

Dari mitos seekor Singa, diyakini bahwa sampai saat ini masi ada beberapa ekor Singa yang menjaga wilayah Jasinga walaupun dalam bentuk gaib. Padahal di Jawa Barat tidak ditemukan habitat singa walaupun di Indonesia sekalipun. Jika dikaitkan dengan datangnya raja-raja pendahulu dari India, maka perlambang Singa berasal dari India pula, bisa saja wujud nyata seekor Singa pernah dibawa oleh pembesar yang datang dari India.

Jasinga tidak layaknya seperti legenda-legenda di Jawa Barat lainnya yang begitu percaya adanya Harimau Pajajaran serta dijadikan lambang atau filosofi tertentu. Masyarakat Jasinga meyakini adanya seekor Singa, hingga pusat kecamatan dilambangkan sebuah Tugu Singa.

Nama singa juga terdapat pada sebuah tanaman yang bernama Singadepa yang tumbuh di hutan-hutan. Daun Singadepa berguna untuk memandikan bayi yang baru lahir, pengharum badan, serta sebagai pencuci darah. Tumbuhan Singadepa mempunyai tinggi + 30 cm, hidup di daerah yang lembab dan tertutup oleh pohon-pohon yang lebih tinggi. Di Jasinga tanaman Singadepa sangat sedikit dan ada di hutan-hutan tertentu, kecuali di hutan pedalaman Baduy hingga ke Lebaksibedug (Citorek) di dekat Gunung Bapang.

Itulah beberapa pendapat mengenai asal usul nama Jasinga yang masih perlu diteliti lebih lanjut keberadaannya, dan diperlukan penelitian Sejarawan. Kitapun masih bertanya-tanya benarkah hewan-hewan Singa itu ada di Jawa Barat bahkan di Indonesia sekalipun.

Terlepas dari itu, orang sependapat bahwa Singa adalah suatu perlambang (hermeneutika) kewibawaan, kejujuran, ketegasan, kemenangan walaupun hanya diceritakan dalam mitos dan legenda. Wallahu’alam.....

Sumber :
1. Sejarah Bogor 1, Saleh Danasasmita, 1983.
Pemerintah Kota Madya DT. II Bogor.
2. Drs. Moh. Amir Sutaarga, Prabu Siliwangi atau Prabu Purana Guru Dewata
Prana Sir Baduga Maharaja Ratu Hadji di Pakuan Padjadjaran. 1473-1513 M.
Bandung. PT. Duta Rakjat, 1965.
3. Prof. Dr. Ayat Rohaedi, SUNDAKALA Cuplikan sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-Naskah Panitia Wangsakerta. Cirebon.
Jakarta, Pustaka Jaya, 2005.
4. Atca & Negara Krethabumi 1.5
Ayat Rohaedi Karya Kelompok kerja di bawah tanggung jawab Pangeran Wangsakerta (Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), Bandung, 1986.
5. Drs. Yosep Iskandar, SAWALI.
Komunitas Urang Sunda Internet (KUSNET)
6. Para Sesepuh Jasinga.
7. Kang Yasid dan kang Subani, Warga Cibeo-Kanekes.
8. T. A. Subrata Wiriamiharja, SH. (TASWIR), Muara Seni Bogor Selatan.

sumber : kalakayjasinga

Minggu, 19 Juli 2009

Hantu dalam Kepercayaan Jawa

Wedon
Adalah bentuk lain dari pocong, tapi ciri khasnya adalah berbentuk kain kafan yang terbentang
atau membumbung ke udara. Wujudnya makin lama makin besar. Celakanya, hantu ini sering
mengejar orang yg ditemuinya. Biasanya, selain di kuburan Wedon suka muncul di kebun
pisang atau runggut bambu. Kalo sudah membentuk Pocong, dia bisa meludahi orang yang
ditemuinya. Katanya, cairan yang dikeluarkannya bisa bikin kulit org jadi busuk.

Banaspati
Adalah setan berwujud seperti singa berkepala manusia tapi dgn posisi kaki menggantung
ke atas. Seluruh bagian tubuhnya mengeluarkan api. Ini tergolong setan yang paling ditakuti
oleh org Jawa karena keganasannya. Dia suka mencelakai orang sampai org itu mati. Setan
ini sering tinggal di pohon-pohon tinggi di daerah pekuburan. Kalo org bertemu Banaspati,
harus menahan nafas dan kalo bisa mencari sungai untuk menceburkan diri. Ini jalan
untuk menyelamatkan diri dari Banaspati.

Lampor
Adalah setan yang kemunculannya selalu berjumlah banyak dan bersuara gaduh. Wujudnya
kadang berupa bola api berterbangan, kadang berupa prajurit-prajurit Jawa jaman dulu. Ini
adalah setan ganas. Sangat ganas, karena kemunculannya pasti membawa maut. Biasanya
Lampor muncul pada peristiwa yg oleh orang Jawa disebut Pageblug, yaitu peristiwa maut
yang beruntun di satu wilayah. Untuk mengakhiri teror Lampor, apabila ada yang mati di hari
yang sama harus segera dikubur sungsang di satu liang. Setelah itu, teror Lampor akan
segera berakhir. Pageblug terjadi di kotaku, terakhir sekitar tahun 60-an. Tapi di daerah pesisir
selatan Jawa katanya peristiwa ini masih sering terjadi.

Kemamang
Adalah setan berwujud mahluk bersayap, dengan kepala memiliki lambul api. Kemamang
juga sering dikaitkan dengan Lampor, dan kemunculannya selalu membawa maut. Di daerah
Gunung Kidul, Kemamang disebut Pulung Gantung. Setiap org yang bertemu dengan setan ini
pasti akan mengalami goncangan mental dan berakhir dengan bunuh diri (gantung diri). Di
Gunung Kidul, kasus gantung diri sangat sering terjadi. Gak percaya, coba cek sendiri kesana.

Genderuwo
Adalah mahluk raksasa yang berbulu dan berwatak beringas. Mahluk ini suka menghuni
bangunan2 kosong, pohon2 besar, dan atap-atap rumah joglo. Kemunculannya katanya selalu
membawa bau seperti ketela bakar. Genderuwo wataknya suka mengganggu dan menakut-
nakuti tapi biasanya tidak sampai menyebabkan kematian. Genderuwo juga suka buat ulah
mengganggu wanita. Tapi ada org2 tertentu dengan ilmu Kejawen justru bisa bersahabat
dengan Genderuwo. Apabila telah saling mengenal, katanya Genderuwo akan menjadi
pembantu yang setia bagi manusia.

Wewe
Adalah setan yang berwujud wanita tua berambut panjang, berpayudara panjang sampai paha
dan berwajah menyeramkan. Wewe suka menyesatkan anak kecil yang pulang melewati
maghrib. Anak itu biasanya ditaruh diatas pohon tinggi. Tapi yang diburu dari Wewe adalah
kain yang disebut sebagai Popok Wewe, karena dianggap memiliki kesaktian untuk
menghilang. Wewe termasuk jenis setan yang usil seperti Genderuwo, tapi dia menjadi ganas
hanya apabila diganggu atau direbut popoknya. Wewe suka tinggal di pohon2 tinggi.

Menthek
Adalah setan berwujud bayi, yang suka menghisap isi padi sehingga membuat gagal panen.
Diyakini Menthek sebenarnya adalah sebuah ilmu hitam kuno yang dipakai seseorang untuk
memperkaya diri melalui penghisapan padi orang lain menjelang panen. Menthek juga bisa
berwujud ayam yang muncul pada malam hari di tengah sawah.

Bayi Trek
Adalah hantu yang diyakini merupakan arwah bayi-bayi yang keguguran. Pertanda apabila
muncul adalah suara berisik seperti kayu pecah, dan apabila memperlihatkan diri hantu ini
berwujud belalang besar berkepala bayi. Tapi hantu ini jarang menampakan wujud, lebih
sering cuma terdengar suara berisiknya saja. Hantu ini jarang mencelakai, hanya membuat
takut saja. Untuk mengusirnya, cukup dilempari dengan serbuk garam.

Lelepah
Adalah setan berwujud raksasa tapi tidak begitu besar, dan katanya suka memakan daging.
Apabila sampai bertemu manusia, dia bisa memakan manusia yang ditemuinya. Tapi setan
ini sekarang sudah seperti dongeng yang tak lagi populer.

Gundul Pringis
Adalah setan berwujud kepala tanpa tubuh. Setan ini suka menakut-nakuti dengan mengejar
orang dgn cara menggelinding. Kadang, kalau malam gelap setan ini menyamar sebagai
kelapa yang jatuh dan sengaja jatuh ketika ada orang lewat. Orang yang berniat membawa
pulang kelapa itu akan dibuat kaget karena setelah dipegang berubah menjadi kepala setan.
Kalau munculnya menjelang maghrib, biasanya menyamar sebagai ayam yang minta
dikandangkan. Begitu ayam itu dipegang untuk dikandangkan, tiba-tiba berubah menjadi
kepala setan.

Anja-anja
Adalah setan yang tidak diketahui pasti wujudnya. Tapi mitosnya, dulu sering kejadian apabila
ada pengantin yang bermalam pertama keesokan harinya mati dengan tubuh membiru. Orang
Jawa menyebutnya mati dihisap Anja-anja.

Peri
Dalam masyarakat Jawa, Peri adalah setan perempuan berkaki kuda. Apabila berpapasan
di depan akan tercium bau wangi, tapi setelah lewat akan meninggalkan bau busuk. Peri
sering mencegat orang terutama laki2 di perempatan atau jembatan pada malam hari.
Biasanya lalu minta diantar ke suatu tempat. Ujung-ujungnya tempat yang dimaksud adalah
daerah2 gelap seperti kebun, danau, sungai, atau kuburan. Dan saat itu baru ketahuan kalo
ternyata dia adalah Peri. Orang yang bertemu Peri biasanya tak akan bertahan hidup lama.
Setelah bertemu akan sakit keras dan segera meninggal.

Jerangkong
Adalah setan berwujud kerangka manusia. Jerangkong termasuk setan yang jarang muncul,
tapi bila muncul akan membawa kejadian yang tidak baik. Ini termasuk setan yang suka
mencelakai orang. Katanya, orang yang sampai disentuh Jerangkong pasti akan menemui
ajal dengan bekas daerah yang disentuh gosong. Jerangkong biasanya muncul dari tempat
yang gelap dengan bersuara berderit-derit. Dan Jerangkong akan mengejar orang yang
ditemuinya.

Biyung Tulung
Adalah setan yang cuma berupa suara. Biasanya muncul di tempat-tempat yang sering
terjadi kecelakaan. Kalau muncul, akan berteriak-teriak sampai orang takut:
"Tolooonggg..., toloooongggg......" Tak ada wujudnya sama sekali.

Tuyul
Adalah setan yang berwujud anak kecil tapi beraut muka tua dan bibirnya sumbing. Tuyul
adalah setan untuk pesugihan, yang membuat pemeliharanya kaya. Untuk menangkal tuyul,
ada beberapa mitos. Ada yg memakai kepiting diikat disudut rumah, untuk mengalihkan
perhatian tuyul sehingga tidak jadi mencuri. Ada yg memasang tai ayam ditaruh didalam
tempurung dgn lombok merah ditancapkan diatasnya, lalu diletakkan di depan rumah. Ini
adalah penolak tuyul.

Buto Ijo
Adalah setan jenis raksasa yg sangat ganas. Biasanya dipelihara untuk pesugihan juga.
Pesugihan Buto Ijo memakai tumbal nyawa, biasanya si pemelihara memberi makanan ke
orang lain. Makanan itu sudah diberi mantera, sehingga yang memakannya akan menjadi
tumbal bagi Buto Ijo. Caranya memang sangat halus. Tapi orang yg memelihara pesugihan
Buto Ijo bisa dikenali: orangnya pasti pelit minta ampun, menutup diri dari masyarakat,
tak punya wajah ramah, dan pasti ada anggota keluarganya yang sakit keras/lumpuh di dalam
rumah tapi sulit mati. Hati-hati, jangan sampai menerima pemberian apapun dari orang yg
seperti itu. Pasti ada niat buruknya.